Menjadi Pribadi yang Berbahagia dalam Tuhan
Sabtu, 10 Oktober 2020
Renungan
Atas Perikop Injil Lukas 11: 27-28
Fr.
Giovanni A. L Arum
Calon
Imam Keuskupan Agung Kupang
Berdomisili
di Centrum Keuskupan Agung Kupang
“At ille dixit: Quinimmo beati, qui audiunt
verbum Dei, et custodiunt illud; Tetapi ia berkata: “Yang berbahagia adalah
mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya.” (Luk. 11:28)
Perikop
singkat ini berbicara tentang kategori kebahagiaan yang sejati. Kita akan
menyelami maksud Yesus di balik pernyataan, yang jika tidak dimaknai secara
mendalam akan menimbulkan kesan bahwa Yesus seolah menolak relasi keluarga. Jika
kita perhatikan dengan sungguh, dengan intensitas refleksi yang lebih mendalam,
kita akan menemukan maksud utama penyampaian Yesus tentang kadar kebahagiaan
sejati yang tidak bisa dibatasi hanya pada relasi manusiawi semata, apalagi
sampai dibatasi hanya pada relasi keluarga kandung.
Ketika
Yesus masih berbicara, seorang perempuan menyela pembicaraan Yesus dari antara
orang banyak dan berseru: “Berbahagialah ibu yang mengandung Engkau dan susu
yang telah menyusui Engkau.” Kita tahu bahwa latar situasi yang digambarkan
dalam perikop ini adalah kejadian ketika Yesus sedang mengajar orang banyak.
Di
saat seorang guru berbicara, sikap seorang murid biasanya diam dan
mendengarkan. Tapi, tokoh perumpuan dalam kisah Injil ini berani menyela ajaran
Yesus “ketika Ia masih berbicara” (Yun. Egeneto
de en tō legein auton touta). Ada “suara” (Yun. phόné) manusia yang mengiterupsi “Sabda” (Yun. logos) Tuhan. Tentu saja perempuan ini digerakkan oleh semangat
dalam hatinya untuk berseru dan menyampaikan pujian. Tapi, apakah ia benar-benar menyadari dengan sungguh arti pujian
itu? Ataukah hanya rasa kekaguman atas popularitas Yesus? Kita akan belajar
bahwa tidak semua kekaguman itu beasal dari penghayatan iman yang sungguh.
Dalam Kitab Suci, seringkali disampaikan bahwa
banyak orang kagum akan perbuatan-perbuatan Yesus yang ajaib. Namun, kekaguman
itu lebih sering dikaburkan dengan pelbagai kepentingan manusiawi, termasuk kecenderungan
untuk memandang Yesus sebagai “Mesias Raja” yang akan membawa pembebasan
politik bagi bangsa Israel. Pada titik inilah, sikap kritis Yesus terhadap
pujian itu perlu kita maknai lebih sungguh.
Dengan
menyampaikan rumusan pujian yang lazim digunakan oleh masyarakat Yahudi pada
waktu itu, yakni pujian terhadap ibu yang melahirkan seorang anak yang membawa
kekaguman bagi banyak orang, tokoh perempuan dalam kisah Injil ini sebenarnya
juga punya kerinduan yang sama. Pujian seringkali adalah proyeksi kerinduan
yang belum tercapai dalam diri. Bisa jadi, ia juga dibutakan dengan naluri
“pamor sosial”.
Yesus
tidak butuh seorang pengagum tanpa iman. Yang dibutuhkan adalah seorang
pengikut yang setia dengan spirit seorang murid yang sejati. Seorang pengagum
memiliki imunitas iman yang rentan. Ia bagaikan tanah berbatu, di mana benih-benih Sabda Allah mungkin dapat bertunbuh
dengan segera, tapi tidak berdasar dan berakar, sehingga jika datang kesulitan
dan tantangan, ia akan lari dan meninggalkan imannya (Bdk. Mrk, 4:16-17). Buktinya
jelas, banyak orang yang mengagumi mukjizat-mukjizat Yesus, akhirnya
meninggalkan-Nya sendiri mengalami jalan salib.
Jawaban kritis Yesus sekaligus merupakan momen
penyadaran bagi banyak orang yang mengikuti-Nya untuk memurnikan pemahaman iman
mereka tentang kebahagiaan yang sejati. Mereka harus keluar dari kategori-ketegori
pemikiran mereka yang sempit dan telah banyak terkontaminasi dengan banyak
kepentingan diri yang egoistik, tak terkecuali tentang keluarga.
Yesus membalikkan orientasi hati manusia yang
keliru tentang apa arti kebahagiaan yang sejati. Si tokoh perempuan membatasi
konsep “kebahagian” hanya pada soal relasi darah semata. Ia juga mengukur
kebahagian pada hal-hal yang nampak dan populer. Yesus memperkenalkan konsep
kebahagiaan sejati yang orientasinya bukan pada manusia dan segala relasi yang
mengikatnya, melainkan pada Allah sendiri.
“Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan
firman Allah dan yang memeliharanya.” (Luk. 11: 28). Kata “berbahagialah”
diterjemahkan dari kata Yunani “Makaria”
yang sekaligus berarti “terberkatilah”. Kebahagiaan itu identik dengan berkat
Allah. Kualifikasi orang yang berbahagia (terberkati) menurut Yesus adalah
mereka yang mau mendengarkan firman Allah dan tekun memeliharanya.
Kata “mendengarkan” (Yun. akuό)
dalam konteks Kitab Suci itu identik dengan sikap iman. “Fides ex auditu; iman timbul dari pendengaran” (Bdk. Rm. 10:17). Sikap
“mendengarkan” juga adalah sikap dasar seorang murid yang sejati. Ia selalu
tenang dan merenungkan perkataan Sang Guru. Ia tidak menyela dan menginterupsi
Sang Guru. Firman Allah perlu didengarkan dengan telinga iman yang peka.
Iman tanpa perbuatan adalah mati (Bdk. Yak.
2:14). Yesus tidak hanya ingin agar para murid-Nya berhenti pada sikap iman
yang pasif. Iman harus berbuah dalam tindakan nyata. Maka, Ia melanjutkan
dengan perintah untuk memelihara Firman Allah itu. Kata “memelihara”
diterjemahkan dari kata Yunani “phulassō” yang juga berarti “melaksanakan, menunaikan.”
Firman Allah yang telah didengar oleh telinga iman harus dipelihara dalam
perbuatan kasih nyata.
Dengan mengkritisi pernyataan pujian si tokoh
perempuan ini, bukan berarti Yesus tidak menempatkan ibu-Nya sendiri, yakni: Bunda
Maria dalam lingkaran orang-orang yang berbahagia dan terberkati. Yesus sekali-kali
tidak menolak Bunda-Nya. Justru dengan menegaskan bahwa kebahagiaan itu
dikaruniakan kepada mereka yang mendengarkan dan memelihara firman Tuhan, Yesus
menegaskan bahwa Maria tidak memperoleh keselamatan karena privilese hubungan
darah, Ia adalah “murid yang sejati dan setia mendengarkan serta memelihara
Firman Tuhan.”
Ada beberapa poin refleksi yang dapat kita
petik untuk hidup harian kita. Yang pertama, status agama kita tidak menjadi
privilese untuk memperoleh kebahagiaan sejati jika kita tidak memiliki
kesediaan hati yang penuh iman sebagai murid yang siap mendengarkan dan
menghayati Firman Allah. Belajar dari figur Maria, yang tidak memanfaatkan
privelesenya sebagai keluarga kandung untuk memperoleh berkat dan kebahagiaan,
melainkan menunjukkannya dalam sikap iman yang total kepada Allah.
Yang kedua, kesalehan bukan soal pamor sosial
yang perlu ditampilkan hanya untuk mendapat pengakuan dan pujian orang lain. Seperti
Yesus, kita belajar untuk tidak terbuai dengan pujian yang bisa saja
menyesatkan orientasi hati kita. Hati kita tetap harus terarah kepada Allah.
Kita percaya, segala sesuatu akan dilengkapi bagi hidup kita, jika kita mencari
lebih dahulu Kerajaan Allah.
Yang ketiga, kita perlu mendekatkan diri dengan
Firman Allah. Firman Allah yang tertulis dan menjadi warisan iman kita adalah
Kitab Suci. Mengakrabkan diri dengan Kitab Suci adalah jalan rohani kita untuk
merenungkan dan menghayati apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup harian kita.
St. Hieronimus pernah berkata: “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak
mengenal Kristus.”
Yang keempat, kita perlu menjadi pelaku iman
dalam hidup harian kita. Iman kita bukanlah iman verbal yang hanya diucapkan
lewat kata-kata yang indah. Iman kita adalah “iman inkarnatif”, yakni iman yang
“menubuh” dan berbuah dalam tindakan nyata. Sesederhana apapun tindakan kita,
jika kita lakukan dengan cinta dan iman yang besar, tentu akan membawa kita
menjadi pribadi “Makaria”; Pribadi terberkati
yang memiliki kebahagian sejati dalam Tuhan.
Semoga Tuhan memberkati kita sekalian. Salve!
Comments
Post a Comment