Gaudete in Domine Semper!

 

Sabtu, 3 Oktober 2020

Renungan Atas Perikop Injil Lukas 10: 17-24

Fr. Giovanni A. L Arum

Calon Imam Keuskupan Agung Kupang

Berdomisili di Centrum Keuskupan Agung Kupang

 


Verumtemen in hoc nolite gaudere quia spiritus vobis subiiciuntur: gaudete autem, quod nomina vestra scripta sunt in caelis; Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.” (Luk. 10:20).

            Kisah Injil yang akan kita renungkan hari ini meliputi dua perikop, yakni: pertama, kembalinya ketujuh puluh dua murid yang diutus Yesus (Luk. 10:17-20) dan kedua, ucapan syukur dan bahagia Yesus (Luk. 10: 21-24). Perikop pertama mengisahkan bagaimana laporan para murid yang bersukacita karena telah menyelasaikan misi perutusan dari Yesus (Bdk. Luk. 10: 1-12). Pada perikop kedua, Yesus mengucapkan syukur kepada Allah Bapa atas rahmat pernyataan misteri Kerajaan Allah kepada kaum sederhana, khususnya kepada para murid Kristus.

Kegembiraan Murid-Murid Kristus

            Setelah menjalankan misi pewartaan, ketujuh puluh dua murid Yesus kembali dengan “gembira” (Lat. Gaudium, Yun. Chara). Mereka bergembira karena mereka telah menunaikan tugas pewartaan Yesus. Tugas ini bukanlah tugas mudah tanpa tantangan. Yesus sendiri berkata “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah serigala.” (Luk. 10: 3).

            Ada juga pelbagai larangan dan nasehat yang disampaikan Yesus bagi mereka agar para murid-Nya memfokuskan diri pada karya pewartaan dan tidak jatuh dalam kepentingan diri sendiri. Kegembiraan ketujuh puluh dua murid ini semakin besar karena mereka berhasil menaklukkan setan dengan nama Yesus Kristus (Bdk. Luk. 10:17). Yesus sendiri telah menyatakan kejatuhan iblis. Dengan demikian, cahaya Kerajaan Allah akan mengalahkan dan menjatuhkan iblis dari kuasa gelapnya: “Aku melihat iblis jatuh seperti kilat dari langit.” (Luk. 10:18).

            Kita perlu menyadari bahwa kuasa yang ada pada murid adalah “kuasa yang terberi” (given power), bukan kuasa dari diri mereka sendiri. Sebagaimana setan takluk, bukan karena kuasa dari dalam diri para murid itu sendiri, melainkan kuasa “dalam nama Kristus” (Yun. onomati Chrsitou). Yesus juga telah memberikan kuasa untuk menginjak “ular dan kalajengking” serta kuasa untuk menahan kekuatan musuh. (Bdk. Luk. 10: 19).

            Dalam konteks Perjanjian Lama, ular dan kalajengking melambangkan segala jenis kejahatan. Ular disebut dalam Kej. 3:1-14, Bil. 21:6-9 dan Sir. 21:2. Sedangkan kalajengking lambang hukuman Allah, disebut dalam Sir. 39:30. Kedua binatang itu disatukan dalam Ul. 8:15. Dengan kuasa pemberian Yesus ini, para murid mampu menghalau segala kekuatan jahat dan pelbagai manifestasinya.

            Namun, Yesus segera memberi awasan kritis kepada para murid agar tidak jatuh dalam godaan “keangkuhan religius”. Pusat perhatiannya bukanlah kekuatan diri mereka: “janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu”, melainkan karena mereka mampu bersekutu dalam kebahagiaan abadi bersama Allah di surga: “tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.” (Luk. 10:20).

Népios yang Percaya

           Pada perikop kedua, Yesus menyatakan syukur dan kegembiraan hatinya kepada Allah Bapa yang berkenan menyatakan misteri Kerajaan Allah bagi orang-orang kecil dan sederhana. Jika kegembiraan para murid masih terkontaminasi dengan rasa bangga diri, maka kegembiraan Yesus adalah kegembiraan yang penuh syukur kepada Bapa. Hanya hati yang selalu bersyukur kepada Allah akan terhindar dari godaan keangkuhan dan puas diri.

            Allah menyembunyikan misteri Kerajan Allah dari orang bijak (Yun. sophos) dan orang pandai (Yun. sunetos) dan berkenan menyatakannya kepada orang kecil (Yun. népios). Kita perlu memaknai ungkapan “orang bijak” dan “orang pandai” dalam konteks pembicaraan Yesus. Hal ini bukan berarti Yesus menolak orang bijak dan orang pandai secara umum, sebab pengetahuan dan kebijaksanaan tentu berasal dari Allah.

Kedua ungkapan ini sebenarnya merujuk secara khusus kepada para Ahli Taurat, orang Farisi dan imam-imam Yahudi yang sering dianggap sebagai “orang bijak dan pandai”, namun hati mereka tertutup oleh keangkuhan dan kejahatan, seperti kubur yang dilabur putih bagian luarnya, namun bagian dalamnya penuh tulang-belulang. Dengan demikian, Allah berkenan menyatakan misteri Kerjaan-Nya bagi orang-orang kecil dan sederhana, yakni orang-orang yang mengandalkan imannya. Kata “orang kecil” diterjemahkan dari bahasa Yunani “népios” yang berarti “anak kecil”. “Anak kecil” adalah lambang mereka yang sering dianggap remeh dalam status sosial Yahudi. “Népios” juga menunjuk pada umat Kristen yang sering ditekan dan dikucilkan.

Yesus memiliki kuasa untuk menyatakan Kerjaan Allah bagi orang yang berkenan kepada-Nya. (Bdk. Luk. 10: 22). Allah berpihak kepada orang yang memiliki spirit kerendahan hati (humilitas) sebagai “anak kecil” (népios) yang menyerahkan dirinya secara total kepada penyelenggaraan Allah. Keberpihakan Allah ini ditunjukkan secara nyata dalam sikap Yesus yang penuh kasih kepada mereka yang dikucilkan, termasuk mereka yang diberi stigma sebagai orang berdosa dan penjahat.

Dengan merenungkan Injil Suci hari ini, ada beberapa pelajaran iman yang dapat kita hayati dalam hidup harian kita. Pertama, kita harus selalu mengucap syukur kepada Allah. Dalam banyak hal, seperti para murid, kesuksesan dan pencapaian dalam hidup seringkali menggoda kita untuk menjadi angkuh dan mengandalkan diri sendiri. Kita lupa bahwa keberhasilan kita adalah “kuasa kasih Allah yang diberikan kepada kita”.

Kedua, kita perlu menimba energi Ilahi dari doa yang berkanjang. Seringkali, ketika kita mengalami pencobaan dan didera dukacita, doa menjadi pilihan utama kita. Namun, ketika kita mengalami sukacita, seringkali kita lupa bersyukur. Yesus dalam “kegembiraan” hati-Nya pun masih menyampaikan ungkapan syukur kepada Allah Bapa.

Ketiga, kita harus menghidupi spirit “kerendahan hati” sebagai “anak-anak kecil” di hadapan Allah. Kerendahan hati adalah kebajikan Kristiani yang utama. Kebajikan kerendahan hati (humilitas) ini dekat maknanya dengan kata “tanah” (humus). Orang yang rendah hati itu seperti tanah yang subur. Meski dipandang kotor dan sering diinjak-injak orang, namun ia tetap kuat menopang kehidupan dan menumbuhkan tunas-tunas hijau yang bertumbuh ke langit.

“Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Gaudete in Domino Semper!” (Flp. 4:4). Sukacita yang sejati sebagai murid-murid Kristus bukanlah sukacita karena pencapaian diri yang bersifat duniawi dan sementara. Sukacita kita adalah sukacita anak-anak Allah yang selalu bersyukur dalam semangat rendah hati karena kita percaya bahwa nama kita telah terdaftar dalam Kerajan Surga. Tuhan memberkati kita sekalian. Salve!

Comments

Popular posts from this blog

Spiritualitas Yohanes Pembaptis

Berjaga-jagalah Sambil Berdoa!