PUISI-PUISI DALAM CAHAYA MISTIK KESEHARIAN
Giovanni A. L Arum*



Data Buku
Judul              : Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku
Penulis            : Vincent Mario Atawolo
Penerbit          : Rua Aksara
Cetak              : I, Mei 2019
Tebal              : 67 halaman
ISBN               : 978-623-72584-7-6

Sein zum Tode
(Ada menuju kematian)-Martin Heidegger

Tangannya yang fana
Perlahan mengeluarkan air dari jemarinya
Saat disentuh hari pemakamannya.

(Bait ke 3 penggalan puisi “Kematian Seorang Penyair”) -Vincent Mario Atawolo

            Kumpulan Puisi Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku (SPTD) adalah buku puisi perdana yang ditulis oleh Vincent Mario Atawolo. Buku ini merangkum 40 puisi Mario yang ditulis dalam rentang waktu 5 tahun (2015-2019). Dengan pemilihan judul buku yang secara kuat mengangkat narasi tentang ibu dan didukung oleh halaman tribute buku yang dipersembahkan secara khusus untuk “mama Maria Kewa”, dapat diketahui nada dasar yang menyatukan seluruh puisi ini dikumpulkan dan diterbitkan, yakni: kerinduan sosok ibu.
            Ulasan buku ini akan bergerak dalam terang pembacaan filosofis Martin Heidegger tentang mistik keseharian. Pembacaan personal ini akan menelusuri jejak-jejak penanda –dalam pengertian semiotika, untuk menjumpai petanda puisi-puisi Mario yang dapat diterangi dengan cahaya mistik keseharian. Artinya, ulasan ini akan memeriksa sejauh mana Mario menyelami peristiwa-peristiwa kesehariannya secara jernih dan baru. Hasil pembacaan personal terhadap puisi-puisi Mario, akan menemukan bahwa melalui pendekatan semantik-metafisik Heidegger, Mario berusaha untuk tidak larut dalam keseharian hidupnya yang banal, menolak jebakan definisi peristiwa kehidupan yang telah banyak terdistorsi oleh pelbagai kepentingan yang menghancurkan refleksi pribadi yang jernih, dan menemukan cara menyelamatkan diri dari kehampaan (nihilisme) hidup melalui puisi-puisi yang digerakkan oleh mistik keseharian.   
Puisi-Puisi dalam Cahaya Mistik Keseharian
            Manusia tidak hanya hidup dalam keseharian. Ia juga tenggelam di dalamnya. Keseharian yang akrab melingkupi manusia, ternyata punya kuasa untuk menenggelamkan kesadaran manusia. Akhirnya, ia terseret dalam pusaran keseharian yang banal. Sensitivitas pemaknaan dalam ruang kesadaran manusia, dikacaukan dengan luapan kesibukan harian yang menyerang kesadarannya secara bertubi-tubi. Dengan demikian, manusia menjadi terasing dengan dirinya sendiri. Lantas, apakah ia harus melakukan ritual eskapisme radikal dengan cara melarikan diri dari empasan keseharian yang banal itu? Bukankah, pada kenyataanya, melarikan diri dari keseharian berarti menjatuhkan diri ke dalam lubang hitam kekosongan absolut (nihilisme)?
            Martin Heidegger dalam Sein und Zeit menemukan jalan keselamatan untuk keluar dari banalitas keseharian tanpa harus melarikan diri dari padanya. Jalan itu adalah mistik keseharian; suatu gerak vertikal untuk menyelami dan memaknai keseharian dengan cara pandang yang lebih jernih. Titik terjauh dari gerak mistik keseharian ini adalah gerakan untuk menghadapi kecemasan secara bermartabat menuju kematian. Artinya, manusia harus bersedia menyelami kesehariannya dan menemukan makna eksistensial yang menggerakkan seluruh dinamika hidupnya.  
            Dalam cahaya mistik keseharian ini lah, puisi-puisi Mario Atawolo mendapatkan terang pemaknaannya. Puisi-puisi Mario berbicara tentang kesehariannya, yakni kepungan peristiwa yang melingkupi ruang kesadarannya. Ia berpuisi tentang malam, gerbong kereta api, tubuh, biara, koran, ibu, pelaut, radio, hingga pembatas buku. Fenomen-fenomen ini adalah peristiwa keseharian yang ia ditemukan Mario. Di tengah kepungan peristiwa ini, puisi-puisi menarik Mario dan menyediakan jalan pemaknaan khusus, sehingga peristiwa-peristiwa itu tidak segera berlalu dan gagal menyisakan jejak pemaknaan dalam ruang kesadarannya.
            Pada puisi “Silentium, 1, “Silentium, 2” dan “Silentium, 3” nampak jelas posisi pemaknaan Mario untuk menyelami keheningan (Lat. silentium) tidak hanya sebagai sebuah peristiwa pasif, diam dan ketiadaan suara. Silentium adalah saat kairos (penuh rahmat) bagi Mario untuk memaknai peristiwa eksternal yang menjenuhkan. Kesadaran akan silentium ini dalam peta mistik Heideggerian adalah disebut dengan kesadaran Wohnen atau Verwailen yang berarti ‘bertempat tinggal’, ‘menetap’. ‘menghuni’ atau ‘bermukim’. Dengan menjatuhkan pilihan untuk ‘tinggal dalam keheningan’, seorang menerangi kesadarannya yang telah banyak dirampok oleh kebisingan dunia luar. Namun, silentium Mario sebagaimana konsep Wohnen Heidegger, bukanlah pelarian diri (eskapisme) yang diakibatkan oleh rasa takut untuk menghadapi kenyataan. Silentium adalah sumber daya yang menggerakkan seseorang untuk berani menghadapi kenyataan secara otentik.
            Pada “Silentium, 1”, Mario menulis tentang paradoks ‘tenang-teriak’ yang ia rangkum dalam ungkapan: “Ia masih terbaring di antara kalian,/ Mengambil sebuah napas panjang/ Menyelesaikan beberapa hal dengan/ Teriakannya.// (hlm. 54). Sementara dalam puisi “Silentium, 2”, keheningan menceritakan tentang kecemasan seorang “aku” yang berusaha mencintai sosok ‘perempuan’ (ibu) yang didera dukacita. Alusi biblikal menambah kadar suspensi semantik yang menjadikan narasi dalam silentium (keheningan) menjadi lebih kompleks bertenaga. “Jalanmu telah diramalkan dan disebut dalam sebuah Sabda. Bukan tentang orang Samaria yang baik hati, atau Lazarus kecil yang mencintai Tuhan yang baik; sesuatu yang jauh lebih besar, yang untuk jangkauannya, derita dan cambukmu mesti kupelajari dengan berbagai alasan serius.” (bait kedua, hlm. 24).
            Pada puisi “Silentium, 3”, tegangan pemaknaan muncul dalam kepiawaian penyair untuk memperhadapkan kembali oposisi biner kebahagiaan-kesedihan secara baru dan ambigu. Mario melunturkan batas-batas definitif dari frasa “ingin kurebut kebahagiaan sempurna darimu” dan “kesedihanmu mengajarkanmu bagaimana cara menangis dan mati yang baik”. Pada bait ketiga puisi “Silentium, 3”, Mario menulis “Semenjak lama ingin kurebut kebahagiaan sempurna darimu hingga kesadaran dan terjaga mengingatkanku pada sebuah jalan pulang yang pernah kaulempar dari malam-malamku menuju pantai-pantaimu yang landai dimana kesedihanmu mengajarkanku bagaimana cara menangis dan mati yang baik sebagai seorang anak sulung.” (Bait ketiga, hlm. 25)
            Pada beberapa puisi lain, tampak posisi Mario menangguhkan relasi antara waktu (tempus) dan tempat (locus). Peristiwa mengunjungi tempat yang berkesan akan melambatkan kesadaran terhadap waktu. Heidegger sendiri membedakan dua jenis waktu, yakni: Innerzeitigkeit (‘keberadaan-di-dalam-waktu’) dan Zitlichkeit (‘kemewaktuan’). Manusia tidak hanya berada dalam waktu sebagai bagian yang larut di dalamnya. Ia juga menciptakan waktu dalam kesadarannya. Dalam hal ini, kesadaran dan pemaknaan akan waktu, menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk semesta yang mampu berada dalam Zeitlichkeit (‘kemewaktuan’). Jejak kemewaktuan ini, nampak dalam puisi “Di Biara Sanctissima Trinitas, Hokeng”, di mana ia melarutkan pengalaman masa lampau ke dalam kesadaranya (kondisi aktual). “Ia menaruh sebuah kotak di kamarku;/ Hujan-hujan dan janji-janji yang dulu//” (bait pertama). “Rahasia kembali membuka pintunya/ Membiarkan masuk segala sejarah dan luka,/ (bait kelima). Dengan demikian, peristiwa yang dialami di Biara Sanctissima Trinitas, Hokeng adalah peristiwa yang tidak hanya hadir dalam sekuensi waktu tertentu, saat pengalaman riil (ataupun imajinatif) penyair di tempat itu dan kemudian menuliskannya dalam puisi. Peristiwa itu meleburkan batas-batas antara masa lalu, masa kini aktual, dan keterbukaan pada masa depan. Sampai pada titik ini, pendapat Dedi Tri Riyadi yang memberkan blurb pada sampul belakang buku kumpulan puisi SPTD dapat dipahami. Dedi menulis: “Membaca puisi-puisi Vincent Mario Atawolo seolah mengaburkan batas tegas antara kejadian-kejadian yang telah berlalu, apa yang ingin diteguhkan sekarang dan apa yang diharapkan terjadi di masa depan. Berpuisi baginya bukan saja bercerita tentang ketiga masa itu melainkan lebih kepada merayakan setiap saat dalam hidup, memuliakan saat-saat itu, sekaligus berperan sebagai titik balik dari persoalan masa lalu, atau keraguan tentang masa depan.”
Secara psikologis, manusia memiliki kemampuan dalam kesadaran yang disebut oleh Philip Lersch sebagai psychological present tense (Ing.) atau psychisches Praesenzeit (Jer,). Istilah ini menunjukkan dimensi waktu objektif dan waktu subjektif dalam kesadaran seseorang. Apa yang secara objektif telah menjadi masa lampau bisa saja bertahan dalam kesadaran seseorang sebagai masa kini yang penuh aktualitas. Dan sebaliknya, apa yang baru saja terjadi tetapi tidak masuk dalam persepsi segera kehilangan aktualitas dan relevansinya dan menjadi masa lampau. Dimensi psychological present tense ini misalnya secara jelas nampak pada puisi “Obituari Pagi”
“Ada sungai kecil yang memanggilmu pagi ini,”
Bisikmu mengakhiri doa sambil menyesap beberapa baris kidung yang
kadang dianggap barisan tersesat dari kitab sucimu.

Dua langkah, enam tahun kemudian, sungai kecil itu tetap mencintaimu.
Seperti pagi yang menunggu, cinta tak cukup pejal memelukmu. Menjagamu
dari gejala masuk angina yang mengancam kota ini.
(Bait pertama dan kedua, hlm. 39)
            Waktu objektif peristiwa dalam puisi terasa aktual dalam kesadaran waktu subjektif penyair. Efek domino dari pemaknaan puisi “Obituari Pagi” bagi pembaca adalah terserapnya kesadaran pembaca dalam aktualitas peristiwa dalam puisi. Hal yang senada juga tampak dalam puisi “Bunga di Pinggir Jalan”. Pada bait keempat, Mario menulis: “Kuukur kembali cerita masa lalu kita. Hujan dan angin senantiasa membelaimu sampai terlelap. Jika Langit mendung dan hujan turun, aku akan kembali terjaga, kembali berdoa, menemukan sesuatu di balik hatimu yang kadang menyesatkan dan tak terduga.” (hlm. 42).

Puisi dan Kebebasan Menuju Kematian (Freiheit zum Tode)
            Dalam bagian epilog buku kumpulan puisi ini, Dr. Andreas B. Atawolo, OFM mengatakan bahwa “Ziarah batin Mario adalah sebuah refleksi bagi para pembaca budiman: Manusia yang sungguh mencintai kehidupan adalah dia yang tahu memaknai kematian. Pengembaraan yang bermakna itu memiliki tujuan. Mario mengajak kita berjalan sampai akhir. Semia kita akan tiba pada “hari terakhir di bumi”. Di saat itu kita akan mengerti bahwa ciptaan bernama manusia itu “telah mencatat dan menerima segala sebagaimana cintanya kepada kematian itu sendiri.” Hal ini dengan jelas memberikan deskripsi posisi pemaknaan Mario berhadapan dengan peristiwa kematian sebagai peristiwa eksistensial.
            Pada beberapa puisi yang mengangkat tema kematian, terekam gejala pemaknaan yang kuat seorang Mario berhadapan dengan situasi batas itu. Dalam puisi, Mario memunculkan refleksi yang diterangi cahaya mistik eksistensial. Ia mengisi ruang hampa kematian dengan refleksi yang menukik. Gambaran traumatik kematian dialihkan sebagai peristiwa yang dicintai. Transformasi gamabaran traumatik menuju gambaran romantik tentang kematian muncul dalam puisi “Di Ruang Fotokopi”. Pada bait ketujuh dan kedelapan, Mario menulis: “Keajaiban ini ternyata direkam/ Baik oleh sang bayi/ Di dalam ruang fotokopi// Yang telah mencatat dan menerima segala/ Sebagaimana cintanya kepada/ Kematian itu sendiri// (hlm. 60).
            Ada satu puisi yang kuat mengangkat narasi kematian, namun kekuatannya justru terletak pada kunci-kunci penanda yang Mario sebarkan dalam puisinya, tanpa menyebut secara khusus dan langsung kata ‘kematian’. Puisi ini adalah puisi yang menjadi judul buku kumpulan puisi Mario. Dalam cahaya mistik keseharian Heidegerrian, puisi ini menjadi pemaknaan yang kuat berhadapan dengan peristiwa kematian, karena nampak jelas refleksi penyair yang kuat untuk memaknai peristiwa kematian dengan lebih bermakna. Siasat translokasi ke dalam inwardness (kebatiniahan), membuka ruang tafsir pembaca bahwa peristiwa kematian orang lain yang berharga bagi si penyair telah ia “interiorisasikan” dalam dirinya. Dengan kata lain, peristiwa kematian sebagai peristiwa gelap dan absurd mendapat cahaya pemaknaan personal melalu pembatiniahan. Namun, konsekuensinya, si penyair tabah menampung peristiwa kematian dalam dirinya, lantas bergerak menuju kematian yang akrab dalam hatinya. Dalam bahasa Heidegger, gerakan ini adalah existenziale Bewegtheit (gerak eksistensial) menuju kematian (Freiheit zum Tode).
SEORANG PEREMPUAN YANG TINGGAL DALAM DIRIKU

diriku terbuka, separuh
yang lain menghilang

seorang perempuan berlari
keluar, dengan kabar
ada sebuah peperangan
yang tak bisa ia
menangkan dalam dirinya

sebuah pesan singkat
di tengah malam

engkau boleh takluk
pada kutukan dan marabahaya
namun janganlah berhenti
mencintai ibumu

seekor anjing melintas
tenang dan melihat sekitarnya
dunia masih sama
seperti saat pertama
ia tinggalkan agar
menemukan makna perpisahan

ia hidup di hatimu
tak bisa kemana-mana
kau tahu itu
artinya apa, bukan?

2019

Beberapa Catatan
            Puisi-puisi Mario adalah respon puitik yang berada pada level diskursus tingkat II, yakni diskursus pemaknaan yang tidak mengacu langsung pada peristiwa konkret harian, melainkan bertolak lebih dalam (duc in altum) pada struktur-struktur prapemahaman yang menggerakkan orang untuk memaknai hidup dengan lebih berkualitas. Risiko potensial dari pemkanaan puisi-puisi dengan pemaknaan yang sangat personal ini adalah kesulitan bagi para pembaca yang cukup berjarak dengan pengalaman yang diangkat. Namun, pada umumnya, puisi-puisi Mario dapat dimaknai dengan cukup cair dan tidak membebankan. Selain itu, ada beberapa ungkapan yang sedikit mengganggu kelancaran menikmati puisi-puisi. Padahal, pada umumnya, secara sintaksis, puisi-puisi Mario memiliki satuan predikasi gramatikal yang baik. Misalnya: ungkapan: “Ia saksikan tubuhnya yang tumbuhan berkelindan…” pada puisi “Ephigenium”, “Seperti pagi yang menunggu, cinta tak cukup pejal memelukmu…” pada puisi “Obituari Pagi” dan beberapa ungkapan mengganggu pembacaan heuristik khalayak pembaca.
            Kualitas cetakan buku puisi ini juga belum maksimal. Ada beberapa penampakan puisi yang tidak jelas terbaca. Namun, terlepas dari beberapa catatan periferal ini, puisi-puisi Mario sungguh amat layak dibaca dan dimaknai oleh sidang pembaca yang luas. Puisi-puisinya menukik ke kedalaman peristiwa sehari-hari dan menjadikan peristiwa-peristiwa yang mungkin kita hadapi secara sepintas lalu menjadi penuh makna. Beberapa eksplorasi tentang tema kematian yang unik menambah lapisan pemaknaan pembaca untuk membuka pintu-pintu tafsir alternatif berhadapan dengan peristiwa yang menggetarkan ini. Pemilihan ilustrasi sampul yang artistik, La Misereuse Accroupie (1902) dari Pablo Picasso merangsang sensitivitas pemaknaan semantik visual yang kuat untuk membaca puisi-puisi dalam SPTD. Selamat membaca!  







Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Spiritualitas Yohanes Pembaptis

Berjaga-jagalah Sambil Berdoa!