IMAJI BIBLIKAL SEBAGAI PENGHAYATAN IMAN PERSONAL DALAM PUISI-PUISI MARIO F. LAWI DAN RELEVANSINYA BAGI PEWARTAAN MELALUI KARYA SASTRA
Giovanni A. L Arum

I. Pendahuluan
        Dalam ringkasannya tentang pengajaran Kristiani, De Principiis, Origenes dari Alexandria mengatakan bahwa “the task of the person seeking God is to place oneself within the biblical text and to write its inner meaning upon the soul.[1] Bagi Origenes, itenerarium mentis in Deum[2] (petualangan jiwa menuju Allah) ditempuh melalui kegiatan membaca, meditasi dan kontemplasi makna terdalam dari Kitab Suci.[3] Dengan demikian, bagi umat Kristiani, perjumpaan kontemplatif dengan Allah selalu bersumber dari kedekatan personal dengan Sabda Allah dalam Kitab Suci.
            Sebagai Wahyu Ilahi yang tertulis, Kitab Suci tentu menjadi sumber yang memancarkan nilai-nilai transendental yang bersifat Ilahi, seperti: kebenaran (verum), kebaikan (bonum) dan keindahan (pulchrum). Dalam konteks forma kebenaran (verum), Kitab Suci menjadi acuan dalam pengetahuan dan pengenalan akan Allah. Dalam Kekristenan, Kitab Suci dipandang sebagai norma normans (norma dari segala norma) yang menjadi rujukan bagi refleksi kebenaran-kebenaran teologis dalam terang iman. Selain itu, dalam konteks forma kebaikan (bonum), Kitab Suci adalah titik sentrum moralitas Kristiani. Kemudian, Kitab Suci juga menjadi sumber inspirasi yang menarik sensitivitas estetis manusia kepada Allah sebagai Sumum Pulchrum (Keindahan yang Tertinggi). Untuk menyentuh forma keindahan Kitab Suci ini, seni memainkan peran yang sangat penting.
         Dalam historisitas kehidupan manusia, seni dan religiositas memiliki keterkaitan erat. Seni, pada masa lalu tak dapat dilepaskan dari ritual keagamaan. Karya seni menjadi medium manusia semasa itu untuk mengungkapkan cita rasa religius mereka. Sebagai medium, karya seni merepresentasikan Yang Transenden. Dengan demikian, karya seni yang merangkum di dalamnya puisi, pertunjukan drama, tarian, dan lain sebagainya memiliki kekuatan untuk menghantar dan memampukan seseorang untuk ‘mendengar sabda melalui matanya.’ Karya seni dalam bingkai religiositas memiliki kekuatan evokasi yang meski terkadang bergerak di luar tata tertib logika, namun secara personal mampu menggerakkan kecenderungan jiwa manusia menuju Realitas Tertinggi.[4]
           Geliat sastra religius selalu inheren dalam dinamika perkembangan sastra. Mendiang Romo Mangun bahkan pernah mengatakan bahwa sastra pada hakikatnya adalah religius.[5] Relasi dengan Yang Transenden selalu memiliki ruang antara yang dapat diisi dengan pelbagai bentuk ungkapan manusiawi, termasuk sastra. Dalam tataran filsafat metafisik, sastra yang menekuni aspek verbal dari seni menyentuh forma keindahan (pulchrum) sebagai salah satu sifat metafisik yang terpancar dari Yang Transenden. Dalam peta sastra religius ini, kemudian banyak penyair yang memilih untuk mendekatkan imaji puitis mereka dengan Kitab Suci dari tiap-tiap agama sebagai dokumen wahyu suci yang diyakini mampu mempertemukan manusia dengan Sang Pencipta.
            Dalam beberapa tahun terakhir, kehadiran puisi-puisi dengan imaji biblikal cukup mewarnai dinamika perkembangan sastra Indonesia kontemporer. Salah satu penyair muda yang konsisten untuk menggarap puisi-puisi dengan imaji biblikal adalah Mario F. Lawi. Kehadiran Mario yang dengan tenaga estetis mampu mengolah narasi biblikal dengan orisinil, kemudian membuka ruang-ruang eksplorasi bagi penyair muda berhadapan dengan teks Kitab Suci. Penelitian ini akan menelusuri eksistensi imaji biblikal dalam puisi-puisi Mario sebagai bentuk penghayatan iman personal. Penelusuran ini akan bergerak dalam bingkai refleksi teologis Hans Urs von Balthasar tentang estetika teologis[6]. Bahwasannya, kemampuan untuk menciptakan imaji-imaji puitik yang bersumber dari Kitab Suci bukan semata dihasilkan dari proyek akal budi yang otonom, melainkan digerakkan dengan cahaya Roh Kudus yang menerangi akal budi penyair. Sensitivitas estetis sebagai rahmat Allah dalam diri penyair menjadi daya kekuatan yang menggerakkan penyair untuk tertarik pada Sabda Allah. Dalam konteks iman, tanggapan aktif terhadap rahmat inspirasi Roh Kudus ini terealisasi dalam kerja kreatif seorang penyair dalam menulis puisi.
          Efek eksternal dari penghayatan iman personal ini tentu memiliki dimensi pewartaan nilai-nilai Injili kepada orang lain (ad alterum), khususnya bagi para penikmat puisi. Karena imaji biblikal merupakan ungkapan penghayatan iman personal, maka efek eksternal pewartaan yang ditimbulkannya juga menyapa tiap penikmat puisi secara personal. Sifat universalitas sastra dapat menjadi pintu bagi pewartaan Injili, baik bagi komunitas umat beriman Kristiani (ad intra), maupun bagi komunitas umat beriman non-kristiani (ad extra). Puisi-puisi yang memanfaatkan piranti sastra-religius berupa imaji biblikal, dapat mengarahkan orang untuk berjumpa dengan Kitab Suci sebagai sumber makna utama, yang daripadanya mengalir pelbagai makna yang secara personal diresepsi oleh penikmat puisi biblikal.
II. Kajian Teori
2. 1 Semiotika
          Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Kata “semiotika” berasal dari kata Yunani semion yang berarti “tanda”. Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercipta dalam kognisi seseorang) dan makna atau isi (yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). De Saussure menggunakan istilah signifiant (Ing. signifier: penanda) untuk segi bentuk suatu tanda dan signifié (Ing. signified: petanda) untuk segi maknanya.[7] Ada beberapa ahli yang mengembangkan ilmu semiotika, seperti: Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Pierce, Julia Kristeva, Roland Barthes, Michael Riffaterre, dan lain-lain.
         Semiotika Michael Riffaterre dikenal dengan semiotika intertekstual. Hal ini didasarkan pada pemikiran Riffaterre bahwa teks tidak pernah mutlak berdiri secara otonom. Menurut Riffaterre, teks in sensu stricto sebagai teks sastra memiliki relasi dengan teks-teks lain sebagai acuannya. Dalam karyanya Semiotics of Poetry, Riffaterre secara khusus mengkaji semiotika dalam puisi. Ada empat hal pokok yang harus diperhatikan untuk memproduksi arti (makna), yaitu: (1) ketaklangsungan ekspresi puisi, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif, (3) matriks, model, varian-varian, dan (4) hipogram.[8] 
          Penelitian ini akan menggunakan teori semiotika intertekstual Michael Riffaterre sebagai alat bantu untuk melihat relasi antara teks-teks puisi Mario F. Lawi dan teks Kitab Suci yang diacu oleh puisi-puisi tersebut. Dalam peta relasi intertekstual ini, peneliti akan menempatkan imaji biblikal yang terdapat dalam puisi-puisi Mario F. Lawi sebagai jalan penghubung untuk menemukan rujukan teks Kitab Suci sebagai teks acuan, atau dalam terminus technicus Riffaterre disebut sebagai hipogram. Relasi antara puisi-puisi Mario F. Lawi dan teks Kitab Suci inilah yang kemudian akan menegaskan puisi-puisinya sebagai puisi-puisi yang kaya akan imaji biblikal.
2. 2 Estetika Teologis
           Mayoritas teolog berbicara tentang Allah sebagai Unum, Bonum, dan Verum. Allah itu Maha Esa, Maha Baik dan Maha Benar. Masih tergolong minim hadirnya refleksi teologis yang melihat Allah sebagai yang Maha Indah, yakni: Allah dalam forma transendentalia Pulchrum (keindahan). Salah seorang dari yang sedikit itu adalah Hans Urs von Balthasar[9]. Teolog Katolik ini mendedikasikan pemikiran teologisnya bagi pengenalan akan Allah yang Maha Indah. Ia menulis tujuh rangkaian pemikiran dalam The Glory of The Lord; A Theological Aesthetics (1962), yang terdiri dari tujuh volume, yakni: I. Seeing the Form, II. Studies in Theological Style: Clerical Styles, III. Studies in Theological Style: Lay Styles, IV. The Realm of Metaphysics in Antiquity, V. The Realm of Metaphysics in the Modern Age, VI. Theology: The Old Covenant, dan VII. Theology: The New Covenant.
          Pada volume III “Studies in Theological Style; Lay Styles,” Balthasar secara khusus berbicara mengenai sastra dalam kaitan dengan refleksi teologisnya tentang keindahan (estetika). Ia mengangkat karya-karya para sastrawan yang dapat menghantar orang kepada refleksi teologis yang mendalam akan hakikat Tuhan sebagai “Summum Pulchrum.” Para sastrawan besar dunia yang karya-karya sastranya dielaborasi secara khusus dalam relasi dengan teologi oleh Balthasar adalah Dante Alighieri, St. Yohanes dari Salib, Blaise Pascal, Johann Georg Hamann, Vladmir Solovyov, Gerard Manley Hopkins, dan Charles Pierre Péguy.[10]
            Balthasar menyebut puisi-puisi St. Yohanes dari Salib sebagai puisi mistik (mystical poetry), di mana kebijaksanaan mistik yang menjadi subjek dari puisinya mengalir dari cinta yang melampaui batas-batas pemahaman manusia. Puisi-puisinya menggunakan kekayaan imaji biblikal yang merangkum Kitab Kidung Agung, Mazmur, dan transposisi tema dari keempat Injil, khususnya prolog Injil Yohanes. Secara khusus, pengaruh Kitab Suci nampak jelas dalam beberapa puisinya, seperti: “The Dark Night” dan “The Living Flame.”[11]
        Estetika Teologis perspektif Balthasar menjadi grand theory dalam penelitian ini yang menghubungkan dua applied theory, yakni: semiotika intertekstual Riffaterre sebagai basis pemikiran dari sisi sastra dan Ajaran Sosial Gereja yang terkandung dalam surat Paus Yohanes Paulus II sebagai basis pemikiran dari sisi pewartaan. Dengan demikian, dalam kerangka teori estetika teologis, akan diteliti fungsi imaji biblikal dalam puisi-puisi Mario F. Lawi sebagai bentuk penghayatan iman personal dan mencari efek pewartaan yang muncul dari penggunaan imaji-imaji biblikal dalam puisi-puisinya.
2. 3 Ajaran Sosial Gereja
         Pada tanggal 4 April 1999, Paus Yohanes Paulus II menulis Surat Apostolik Letter of His Holiness Pope John Paul II to the Artists perihal seni dan pewartaan. Ada beberapa pokok pemikiran dalam Surat Apostolik ini, yakni: 1) Seniman sebagai citra Allah Sang Pencipta, 2) Panggilan khusus seniman-seniwati, 3) Panggilan kesenian adalah melayani keindahan, 4) Seniman-seniwati dan kepentingan umum, 4) Kesenian dan misteri Sabda menjadi daging, 5) Perjanjian yang subur antara iman dan kesenian, 6) Sejarah kesenian dan Kekristenan (Awal mula, Abad Pertengahan, Humanisme dan Renaissance), 7) Menuju dialog yang dibarui dalam semangat Konsili Vatikan II, 8) Gereja memerlukan kesenian, 9) Benarkah kesenian memerlukan Gereja? 10) Seruan kepada seniman-seniwati, 11) Roh Pencipta yang artistik, dan 12) “Keindahan” yang menyelamatkan.
            Paus Yohanes Paulus II menegaskan relasi erat antara Gereja dan kesenian. Paus menekankan panggilan khusus seniman-seniwati untuk mewartaan keindahan Allah melalui karya seni. Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Sang Seniman Ilahi menyalurkan kepada seniman manusiawi percikan kebijaksanaan-Nya sendiri yang serba mengatasi, serta memanggil perajin seni itu supaya ikut serta dalam kekuasaan karya ciptaan-Nya.”[12]
Dalam refleksi yang matang, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa dalam konteks pewartaan, Gereja membutuhkan seni.
Untuk menyampaikan amanat yang oleh Kristus dipercayakan kepadanya, Gereja memerlukan keseninan. Kesenian harus memungkinkan ditangkap, dan sedapat mungkin mempunyai daya tarik, dunia roh, dunia yang tak kelihatan, kenyataan Allah. Oleh karena itu kesenian harus menerjemahkan ke dalam istilah-istilah penuh makna kenyataan, yang dalam dirinya tidak dapat dikatakan. Kesenian mempunyai kecakapan yang unik: mengangkat salah satu aspek amanat, dan menerjemahkannya ke dalam warna-warni, bentuk-bentuk dan suara-suara, yang memperkaya intuisi mereka yang memandang atau mendengarkan. Itu dilakukannya tanpa menghampakan amanat sendiri nilai transendennya dan sinar misterinya.[13]

Refleksi Paus Yohanes Paulus II ini menjadi dasar untuk pola pewartaan yang relevan melalui karya seni, khususnya puisi. Dalam Surat Apostolik ini, Paus juga mengutip beberapa sastrawan besar dunia untuk mendukung gagasannya tentang panggilan suci para seniman-seniwati untuk mengabdi pada Keindahan Sejati. Ketika membahas tentang panggilan kesenian untuk melayani keindahan, Paus mengutip pernyataan seorang penyair termashyur dari Polandia, yakni Cyprian Norwid tentang daya keindahan yang menyemangati setiap orang untuk berkarya.[14]
Dengan konsistensi penggarapan tema-tema biblikal dalam puisi-puisinya, Mario sedang menghayati panggilan khususnya sebagai seorang seniman Kristiani yang menimba inspirasinya dari Kitab Suci sebagai sumber utama yang penuh makna. Puisi dengan imaji biblikal adalah medium pewartaan refleksi nilai-nilai Kitab Suci melalui estetika verbal yang gaung pewartaannya dapat diterima oleh banyak orang, khususnya bagi mereka yang tertarik dengan karya sastra.
III. Imaji Biblikal dalam Puisi-Puisi Mario F. Lawi
3. 1 Imaji Biblikal
            Term “imaji” secara etimologis berasal dari kata Latin “imago” yang berarti gambaran. Istilah “imaji” berkaitan erat dengan “imajinasi”. Secara umum, yang dimaksudkan dengan istilah imajinasi adalah daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan). Karena imajinasi adalah suatu daya, maka ia berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya tersebut. Secara umum pula, dapat dipahami bahwa hanya manusialah yang memiliki daya itu, bukan makhluk hidup infrahuman lainnya.[15]
         Selama ini, secara umum telah terjadi argumentum ad populum dalam penggunaan istilah imajinasi yang sering dipadankan dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Sesungguhnya, term “fantasi” itu lebih berkaitan dengan daya untuk membayangkan sesuatu, khususnya hal yang tidak real atau yang tidak mungkin terjadi. Fantasi juga dapat diartikan dengan khayalan. Kata “khayalan” ini digunakan sebagai terjemahan dari kata bahasa Inggris “illusion” yang sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai ilusi. Ilusi adalah ide, keyakinan, atau kesan yang salah tentang sesuatu; persepsi atau konsepsi yang keliru akan sesuatu.[16] Akan tetapi, term “imajinasi” tidak dapat dipahami sebagai gambaran yang keliru tentang kenyataan sebagaimana kata ilusi atau khayalan. Dalam tataran filsafat pengetahuan, imajinasi justru berhubungan dengan aktus intelek yang menghasilkan gambaran objek yang mungkin dapat ada dan logis. Bahkan, imajinasi disebut sebagai roh kreatif intelek.[17]
            Ignas Kleden dalam bukunya Sastra Indonesia dalam Empat Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan Budaya memosisikan relasi imajinasi dengan pikiran (intelek) manusia sebagai berikut:       
Imajinasi adalah kemampuan menciptakan imago, image, atau citra, tetapi sekaligus juga kondisi ketergantungan manusia kepada citra. Rupanya akal dan pikiran manusia bukan saja sanggup menciptakan citra-citra yang dibutuhkannya, tetapi juga mutlak membutuhkan citra-citra tersebut sebagai tempat menggantungkan pengertian dan tanggapannya. Imajinasi, dengan demikian, bukan sekadar suatu keunggulan pikiran, tetapi juga alat bantu untuk pikiran itu sendiri, yang oleh pikiran itu diciptakan untuk menolongnya memahami atau menyusun sebuah ide atau konsep.[18]

          Dalam konteks sastra, term “imajinasi” diturunkan dari pengertian imagery dalam bahasa Inggris, yang berarti suatu penggunaan bahasa figuratif untuk menghasilkan gambaran, objek, aksi, perasaan, pemikiran, ide, atau pengalaman dalam pikiran pembaca atau pendengar. Imagery inilah yang paling sering digunakan oleh para penyair dalam karya-karyanya.[19] Dengan demikian, dalam konteks puisi, imaji berhubungan erat dengan kemampuan estetis penyair dalam membangun ide atau gagasan melalui penggunaan bahasa figuratif untuk menciptakan kesan bagi pembaca.
       Dalam puisi, eksistensi imaji merupakan salah satu perangkat sastrawi yang penting. Keterampilan penyair untuk membentuk bangunan imaji yang disajikan dalam puisi dapat menjadi salah satu indikator tingkat kematangan seorang penyair.[20] Selanjutnya, dalam kaitannya dengan Kitab Suci, perangkat khas sastrawi yang digunakan penyair untuk membangun ide atau gagasan melalui penggunaan bahasa figuratif untuk menciptakan kesan bagi pembaca dengan berlandaskan pada narasi-narasi dalam Kitab Suci disebut dengan imaji biblikal.
3. 2 Puisi-Puisi dengan Imaji Biblikal dalam Kumpulan Puisi Ekaristi
3.2.1 Puisi “Ruang Tunggu, 1”

Ruang Tunggu, 1[21]

Menahan godaanMu,
Eva dan Ular bersihadap.
Kami mengelus-elus dada.
Entahkah senyum Ular
Atau kerling Eva
Menggetarkan belulang!

Surabaya, 2011

           
Puisi “Ruang Tunggu, 1” merekonstruksi kisah terkenal dalam kitab Kejadian, yakni kejatuhan manusia ke dalam dosa (The Fall). Dalam puisi, Mario menghadirkan tokoh-tokoh kunci, seperti: Tuhan (yang ditunjuk dengan penggunaan partikel “-Mu” sebagai kata ganti kepemilikan orang kedua tunggal), Eva, Ular, dan “kami”. Adam dan Eva adalah prototipe manusia yang Tuhan tempatkan di taman Eden. Tidak jelas mengapa puisi tersebut berjudul “Ruang Tunggu, 1”.[22]
Penyair mungkin mengambil judul “Ruang Tunggu” karena puisi tersebut ditulis ketika penyair sedang menunggu sesuatu, karena pada titimangsa ditulis “Surabaya, 2011”. Ruang tunggu bandara dapat menjadi locus pembuatan puisi yang singkat ini. Namun, dapat saja judul puisi “Ruang Tunggu, 1” membuka efek hermeneutik bagi pembaca untuk mengasosiasikan locus peristiwa kejatuhan di taman Eden sebagai “ruang tunggu”, karena cuplikan kisah Adam dan Eva yang jatuh dalam godaan memakan buah terlarang akan berlalu. Taman Eden dapat ditranslokasikan sebagai “ruang tunggu” yang bersifat sementara, karena mereka akan segera diusir dari taman tersebut.
Dalam puisi ini, hanya terdapat satu bait yang terdiri atas tiga kalimat. Keterampilan berbahasa Mario memang nampak secara sintaksis, di mana ia membangun struktur narasi puisinya dengan satuan kalimat yang jelas secara gramatikal.[23] Dalam puisi “Ruang Tunggu, 1” ini, kalimat-kalimatnya mengandung beberapa klausa, yakni sebagai berikut: kalimat pertama mengandung dua klausa, yaitu: “menahan godaanMu” serta “Eva dan Ular bersihadap.” Kalimat kedua terdiri atas satu klausa “kami mengelus-elus dada”. Sementara itu, kalimat ketiga juga mengandung satu klausa “entahkah senyum ular ataukah kerling Eva menggetarkan belulang!”[24]
Mario memanfaatkan tendensi psikis manusia yang cenderung melihat larangan sebagai godaan. Selain itu, dengan memanfaatkan citraan visual yang memperhadapkan tokoh Eva dan Ular, pembaca diarahkan untuk merasakan tegangan psikis dari narasi alternatif tentang peristiwa kejatuhan. Tidak ada percakapan antara Ular dan Eva dalam puisi. Mario menangguhkan komunikasi untuk mempengaruhi refleksi personal pembaca. Senyum Ular atau kerling Eva adalah dua konsekuensi opositoris yang dihubungkan dengan frasa “menggetarkan belulang.”
“Senyum Ular” adalah denominasi dari keberhasilan ular dalam menggoda Hawa untuk memakan buah pohon pengetahuan. Sebuah keberhasilan biasanya membuat seorang senang atau bahagia. Senyuman adalah ekspresi yang menunjukkan rasa bahagia. Sementara itu, “kerling Eva” adalah denominasi dari konsekuensi Eva setelah memakan buah pohon pengetahuan, yaitu berubahnya pengetahuan dia atas sesuatu. Dosa menggeser status pandangan manusia terhadap yang Ilahi. Misalnya, ketelanjangan dilihat sebagai aib yang harus ditutup.[25]  

3.2.2 Puisi “Ekaristi”

Ekaristi[26]

Pagi yang cacat
Mengulurkan anamnesis.

Kami berdiri di jalanan
Menyaksikan diriMu dikorbankan.

Di bawah salib,
TubuhMu yang jasad,

Kami koyak kelak
Dengan rasa lapar paling purba.

Naimata, 2011

       Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (Lumen Gentium, art. 11). “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarah kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita.” (Presbyterorum Ordinis, art. 5)[27]
Puisi ini menghidupkan narasi tentang Ekaristi sebagai perayaan sakramental untuk memaknai peristiwa Paskah Kristus. Mario menggunakan kekuatan imaji biblikal yang khas untuk pemaknaan Ekaristi, seperti: “anamnesis”, “korban”, “salib”, “Tubuh”, dan “rasa lapar”. Ketelitian untuk menghubungkan imaji-imaji khas ini menunjukkan tingkat pemaknaan Mario yang matang terhadap Ekaristi dalam kaitannya dengan peristiwa Paskah Kristus. Selain itu, dengan membangun sebuah kisah retroproyektif, Mario menghadirkan fragmen peristiwa Salib dan melakukan pemaknaan simbolik-sakramental tentang Tubuh Yesus yang dikorbankan di atas salib sebagai Tubuh yang akan menjadi santapan rohani bagi kehidupan umat manusia.
Dengan memosisikan diri dalam kumpulan orang yang “berdiri di jalanan”, Mario sedang memunculkan tegangan dua peristiwa, yakni “peristiwa Salib” dan “peristiwa Ekaristi”. Tegangan ini secara semantik diperantarai dengan “anamnesis”. Bagi umat Katolik, kehadiran Yesus dalam peristiwa Ekaristi tidak hanya merupakan suatu kenangan retroproyektif umat yang merayakannya. Dalam Ekaristi, Yesus benar-benar hadir secara aktual (realis preasentia Christi). St. Thomas Aquinas mengatakan: “In the Holy Eucharist, Christ is present whole and entire (body, blood, soul, and Godhead or divinity) under the appearances or accidentals of bread and wine. The words of consecration (which constitute the ‘form’ of the sacrament of Holy Eucharist) bring the living Christ, God and man, truly present.[28] Dengan demikian, kehadiran Yesus tidak hanya sekadar pengenangan kembali peristiwa salib, melainkan kehadiran real (realis praesentia) Kristus dalam rupa roti dan anggur. Peristiwa Salib telah menjadi peristiwa keselamatan. Imaji tubuh sakramental yang menunjuk pada Tubuh Kristus yang dikorbankan di atas salib telah berhasil menebus lapar purba manusia yang terpuruk akibat dosa.
Dengan menggunakan imaji “Tubuh” dan “rasa lapar”, Mario membangun sebuah pemaknaan Ekaristi yang reflektif. Secara filosofis, Yasintus Runesi, dengan memijakkan refleksinya pada filosof Jean Luc-Marion menjelaskan peristiwa ‘makan’ dalam komunio Ekaristik sebagai peristiwa keselamatan, di mana manusia sebagai penerima ‘Tubuh Ekaristik’ diubah dan diselamatkan oleh Si Pemberi, yakni Kristus sendiri. Yasintus menulis demikian:
Masuk lebih dalam, vertikalitas mengindikasikan ketergantungan tubuh yang inkarnatif dengan sebuah kenyataan misterius tak bernama di seberang sana tetapi akrab. Dalam kekristenan, kenyataan yang tak bernama itu justru dialami bukan sebagai sebuah kekurangan konstitutif atau sebagai sesuatu yang tunggal, bahkan bukan sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai pemberian yang berlimpah. Kristus adalah pemberian itu sekaligus pemberi. Pemberi yang memberi diterima oleh penerima melalui tindakan paling manusiawi, yakni makan.

Makan tidak hanya jalan melaluinya kita menerima ketergantungan kita satu dengan yang lain dan pada dunia. Lebih jauh, melalui makanan yang dimakan, kita mengasimilasi dunia ke dalam diri kita, membawa kenyataan luar masuk ke dalam diri. Dalam tindakan makan, dunia dan kehidupan menyatu dalam tubuh. Tetapi berkebalikan dengan itu, dalam komunio ekaristik, kita tidak mengubah hostia ke dalam tubuh kita, sebaliknya kita diubah ke dalam Tubuh-Nya yang tak berhingga: penerima menerima pemberian Sang Pemberi, dan pemberian yang diterima itu mengubah sang penerima.[29] 


3.3 Relasi Intertekstual Imaji Biblikal dengan Narasi Biblis
3.3.1 Relasi Imaji Biblikal dalam Puisi “Ruang Tunggu, 1” dan Narasi Kejatuhan Manusia dalam Kitab Kejadian
Imaji Biblikal dalam Puisi “Ruang Tunggu, 1”
Hipogram dalam Kitab Suci
Menahan godaanMu,
Eva dan Ular besihadap.



“Adapun ular ialah yang paling cerdik di antara segala binatang di darat yang dijadikan oleh Tuhan Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kej. 3:1-5)
Kami mengelus-elus dada.


Entahkah senyum Ular
Atau kerling Eva
Menggetarkan belulang!

“Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.” (Kej. 3:7)
“Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kej. 2:21-23)


3.3.2 Relasi Imaji Biblikal dalam Puisi “Ekaristi” dan Kisah Paskah dalam Injil
Imaji Biblikal dalam Puisi “Ekaristi”
Hipogram dalam Kitab Suci
Pagi yang cacat
Mengulurkan anamnesis.



Kami berdiri di jalanan
Menyaksikan diriMu dikorbankan.

“Sambil memikul salib-Nya Ia pergi ke luar ke tempat yang bernama Tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota. Dan di situ Ia disalibkan mereka dan bersama-sama dengan Dia disalibkan juga dua orang lain, sebelah-menyebelah, Yesus di tengah-tengah. Dan Pilatus menyuruh memasang juga tulisan di atas kayu salib itu, bunyinya: “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi.” Banyak orang Yahudi yang membaca tulisan itu, sebab tempat di mana Yesus disalibkan letaknya dekat kota dan kata-kata itu tertulis dalam bahsa Ibrani, bahasa Latin dan bahasa Yunani.” (Yoh. 19: 17-20).
Di bawah salib,
TubuhMu yang jasad,

“Sesudah itu Yusuf dari Arimatea- ia murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi- meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus. Dan Pilatus meluluskan permintaannya itu. Lalu datanglah ia dan menurunkan mayat itu.” (Yoh. 19: 38)
Kami koyak kelak
Dengan rasa lapar paling purba.

“Dan ketika mereka sedang makan. Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya dan berkata: “Ambilah, makanlah, inilah tubuhKu.” (Mat. 26: 26)
“Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh. 6:51).


3.4 Imaji Biblikal Sebagai Penghayatan Iman Personal
3.4.1 Roh Kudus sebagai Inspirator Utama Penyair
Dalam terang iman, dipahami bahwa segala inspirasi yang muncul dalam akal budi manusia tentang yang baik, benar dan indah merupakan karya Roh Kudus. Peziarahan jiwa menuju Hakikat Keindahan selalu menjadi suatu jalan melalui akal budi.[30] Paus Yohanes Paulus II dengan tegas mengatakan bahwa Roh Kudus menjadi Pelaksana Seni misterius bagi alam semesta. Tiap inspirasi yang sejati membawa serta getaran “nafas” Roh Ilahi yang menjangkau kepiawaian manusiawi dan mendorong proses kreatif dalam menciptakan karya seni yang bernilai. Roh Kuduslah yang menerangi batin dan membangunkan daya-daya budi dan hati untuk merancangkan ide dan memberinya bentuk dalam karya seni.[31] 
Roh Kudus lah yang memberikan inspirasi artistik kepada seniman-seniwati. Meski sering kali orang mengatakan bahwa ada hal-hal tertentu yang menginspirasi dan menggerakkan daya artistik dalam dirinya, namun, dalam terang iman, tiap inspirasi itu digerakkan oleh getaran “nafas” Ilahi yakni Roh Kudus sendiri.[32] Dengan refleksi yang indah, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan relasi antara inspirasi artistik yang diperoleh seniman-seniwati dan getaran nafas Ilahi Roh Kudus sebagai Roh Pencipta, demikian:
… nafas Ilahi Roh Pencipta menjangkau kepiawaian manusiawi dan mendorong kekuatannya yang kreatif. Roh itu menyentuhnya dengan semacam penerangan batin, yang memadukan citarasa kebaikan dan keindahan, dan Ia membangunkan daya-daya budi dan hati, yang memampukannya untuk merancangkan idea dan memberinya bentuk dalam karya kesenian. Maka memang tepatlah berbicara, bahkan sekadar sebagai analogi, tentang “saat-saat rahmat”, sebab manusia mampu mengalami secara tertentu Nan Mutlak yang sama sekali melampaui segalanya.[33]

            Mario memiliki refleksi personal yang cukup matang dan kritis tentang upaya seorang pekerja seni dalam menjawabi panggilan artistik dari Allah. Secara pribadi, Mario tidak mau terjebak dalam refleksi yang keliru mengenai panggilan dan talenta yang sering menjadi momok bagi penyair yang malas untuk berjuang dan menempa diri. Baginya, tugas seorang penyair adalah bagaimana ia menjawab panggilan itu. Hal ini mengandaikan adanya usaha yang berkanjang untuk tekun berkarya.[34] Dengan demikian, panggilan bukan hanya mengenai keterberian dari Tuhan (Gabe), melainkan juga serentak tanggung jawab untuk tekun berkarya (Aufgabe).
            Refleksi personal Mario ini sejalan dengan refleksi Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya, The Letter of His Holiness Pope John Paul II to Artists yang merefleksikan panggilan kesenian untuk melayani Keindahan (pulchrum) dengan mengacu pada makna perumpamaan Injil tentang talenta-talenta (Bdk. Mat. 25: 14-30). Paus Yohanes Paulus II mengatakan demikian:
Di situlah kita disentuh satu pokok yang hakiki. Mereka yang menangkap dalam diri mereka semacam percikan ilahi, yakni panggilan artistik – sebagai penyair, pengarang, pemahat, arsitek, ahli musik, pemain sandiwara dan selanjutnya – sekaligus merasakan kewajiban supaya jangan menghamburkan talenta itu, tetapi mengembangkannya, untuk mengabdikannya terhadap sesama mereka dan umat manusia secara keseluruhan.[35]  

                Merujuk pada perumpamaan Yesus tentang talenta, dapat dipahami bahwa Tuhan memang memberikan kepada setiap orang talenta dengan jumlah yang berbeda. Namun, jika direfleksikan dengan lebih mendalam, narasi utama yang diangkat oleh kisah perumpamaan tersebut adalah perjuangan tiap hamba dalam menggandakan talenta yang diberikan oleh tuannya. Dengan demikian, kita dapat mengerti mengapa hamba ketiga yang memiliki satu talenta dan menguburkan talenta itu dalam tanah akhirnya dicampakkan oleh tuannya dengan perkataan keras: “Hai kamu, hamba yang jahat dan malas…” (Bdk. Mat. 25: 26). Dalam konteks berpuisi, bagi Mario Tuhan sudah jelas memberikan talenta kepada tiap penyair, namun tugas penyair yang utama adalah bagaimana bekerja untuk menggandakan talenta itu.
            Majalah Tempo edisi 5 Januari 2015 ketika menaikkan profil Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2014, menempatkan nama Mario F. Lawi sebagai Tokoh Sastra di bidang puisi dengan buku puisi Ekaristi dinobatkan sebagai Buku Puisi Terbaik Tempo 2014. Profil ini dibuka dengan kalimat “Puisi Mario F. Lawi mengawinkan Alkitab dan mitologi Sawu. Menulis puisi baginya adalah menghidupkan iman.”[36] Dengan meyakini bahwa menulis adalah suatu cara menghidupkan iman personalnya, maka sebenarnya Mario sedang memaknai panggilannya sebagai seorang penyair Kristiani. Menulis puisi, bagi Mario, bagaikan beribadah di Gereja yang menjadi caranya menghidupi yang ia imani. Iman Mario melebur dalam puisi-puisinya.[37]

3.4.2 Imaji Biblikal Membahasakan Secara Artistik Kekayaan Sabda Allah    
Puisi-puisi dengan imaji biblikal yang diangkat melalui refleksi atas Sabda Allah yang hidup menunjukkan gerak aktif akal budi dan kehendak manusia untuk membahasakan kekayaan Sabda Allah. Dalam jurnal The Bible Today, Carroll Stuhnueller C.P mengomentari puisi-puisi biblikal yang hadir dalam jurnal sebagai “pengisi halaman-halaman yang kosong” dan “bumbu penyedap” bagi kekayaan rasa dari Sabda Allah. Ia mengatakan demikian:
Poetry may seem like fillers to complete a partially empty page. It can also be viewed as the spice and flavoring, sprinkled and blended in sparingly, yet all important for tasting the richness of the Word of God.[38]

            Banyak puisi dengan imaji biblikal tidak hanya menyalin secara tekstual narasi Kitab Suci, melainkan memberi ruang penafsiran dan pemaknaan personal. Mario kerap kali menggunakan imaji-imaji biblikal yang telah dimaknai secara personal untuk membangun suatu narasi baru dalam puisinya. Misalnya, pada puisi “Nazarenus, 2”, tentu saja kita tidak dapat menemukan kesaksian narasi biblis tentang kisah Yesus yang kembali ke Nazaret untuk menemui ibu-Nya setelah peristiwa salib. Namun, Mario merekonstruksi narasi alternatif dengan tetap menjaga alusi biblikal yang kuat untuk membangun pemaknaan personalnya tentang cinta Yesus terhadap ibu-Nya, status psikologis kemanusiaan Yesus dan juga hancurnya hati seorang ibu yang menyaksikan Anaknya wafat di kayu salib.    
         Mario melakukan pembacaan ulang atas narasi biblis secara sadar untuk mengungkapkan maksud tertentu.[39] Mario menganggap konsistensi dalam menggarap puisi-puisi biblikal adalah salah satu cara untuk menolak hegemoni dalam dunia sastra, di mana publik pembaca haus akan kesegaran. Baginya, negara-negara dengan tradisi sastra yang kuat dan berkanjang, justru memiliki kekuatan dalam menjaga konsistensi. Menurutnya, dengan mengeksplorasi kedalaman tematik, seperti tema biblikal, seorang akan menemukan adanya ‘blind spots’ yang akan mampu diangkat dalam khazanah puisi.[40] Misalnya, ia mengeksplorasi tokoh ‘keledai’ tunggangan Yesus menjadi sebuah puisi dengan eksplorasi kisah yang kaya dan penajaman sisi psikologis humanis yang kuat. Penggalan menarik puisi “Keledai yang Mulia” yang mengeksplorasi narasi Si Keledai dan Yudas Iskariot, demikian: “Tak lagi kubutuhkan tunggangan, Tuan./ Keledai belia tak berlapik yang kemarin/ Dibawa seorang sahabatku telah kukembalikan/ Kepada Si Penambat. Telah tiba/ Saat aku berdiri di atas kaki-kakiku./ Akan kuminta Iskariot sahabatku untuk/ Menggantikanku menuntunmu sampai tujuan.”// (Bait ke-14).[41]

3.4.3 Imaji Biblikal Mempertemukan Horizon Pemahaman dan Pengalaman Iman Personal akan Sabda Allah
Sebagaimana pengakuan St. Yohanes dari Salib tentang puisi-puisinya yang mengolah pengalaman personal dan pemahaman iman yang bersumber pada Kitab Suci, demikianlah puisi-puisi dengan imaji biblikal tentu mempertemukan horizon pemahaman dan pengalaman yang mengacu pada pemaknaan personal terhadap Kitab Suci. Misalnya, puisi “Ekaristi” yang merenungkan kembali peristiwa pengorbanan Yesus di salib menunjukkan refleksi personal Mario tentang perayaan Ekaristi yang ia hidupi. Mario menghubungkan Tubuh Kristus dan “rasa lapar” yang dipertemukan dalam jamuan keselamatan. Di bawah salib,/ TubuhMu yang jasad,/ Kami koyak kelak/ Dengan rasa lapar paling purba.//[42] 
Imaji biblikal yang diangkat Mario dalam puisi-puisinya tidak hanya merupakan bentuk tambal-sulam alusi ayat-ayat Kitab Suci dalam puisi. Baginya, puisi, sebagaimana juga segala bentuk tulisan, merupakan jalinan pelbagai teks yang disatukan penulis dalam karyanya. Dalam menciptakan puisi-puisnya, Mario berjumpa dengan pelbagai khazanah pembacaan untuk memperkaya pembacaannya terhadap Kitab Suci.[43] Mario memiliki ketekunan membaca yang baik dan memiliki akses ke pelbagai bacaan yang dekat dengan penafsiran Kitab Suci. Khazanah pembacaan yang kaya ini sangat berpengaruh terhadap Mario dalam membangun imaji dengan pembacaan yang khas dan kaya. Misalnya, dalam puisi-puisi yang menyinggung daerah-daerah historis dalam Kitab Suci, seperti Kapernaum, Nazaret, dan lainnya, Mario melakukan pengkajian terhadap literatur-literatur tentang aspek historisitas daerah-daerah tersebut.[44]
Dalam esainya yang berjudul: “Alkitab di Mata Penyair”, setelah menyelidiki secara mendalam dan serius puisi-puisi biblikal Mario melalui penelitian tesis magisternya, Royyan Julian menyatakan bahwa Mario mempertemukan horizon epistemik yang kaya dan refleksi personal yang kuat sehingga menjadikan Alkitab sebagai ‘Firman yang terus bergema’.[45] Royyan menulis demikian:
Kontekstualisasi Alkitab adalah tradisi yang terus dijalankan oleh cendekiawan Gereja selama berabad-abad. Pembacaan ulang teks Alkitab oleh Mario adalah salah satu cara memancarkan makna Kitab Suci. Dengan segala keahlian, gudang pengetahuan, dan refleksi-intuisi yang dimilikinya, Mario telah meramu teks Alkitab sesuai dengan konteks di mana ia hidup. Terlepas dari pertanyaan apakah puisi-puisi tersebut mampu menjadi sebuah “pedoman alternatif” bagi umat manusia, setidaknya Mario telah menunjukkan intensitasnya mentransformasikan Alkitab ke dalam dialek yang lain.[46]

IV. Relevansi Imaji Biblikal dalam Puisi-Puisi Mario F. Lawi sebagai Penghayatan Iman Personal bagi Pewartaan Melalui Karya Sastra

4.1 Pewartaan Nilai-Nilai Kerajaan Allah dalam Kitab Suci Melalui Puisi
            Sebagai hasil daya kreativitas manusia yang diyakini berdasarkan inspriasi dari penerangan Roh Kudus, puisi memiliki fungsi pedagogis personal yang kuat, terutama dalam mentransfer nilai-nilai. Fungsi puisi secara khusus bersentuhan pada penanaman nilai-nilai, menyentuh kepekaan hati nurani, dan berupaya membangun spiritualitas dan kesadaran dalam memandang realitas.[47]
            Dalam terang Surat Apostolik “The Letter of His Hollines Pope John Paul II to The Artists” dari mendiang Paus Yohanes Paulus II bersama Ajaran Sosial Gereja lainnya yang berkaitan dengan seni dan pewartaan, serta hasil penelitian lapangan berupa jawaban kuesioner dan hasil wawancara mendalam (in-depth interview), maka penulis melakukan generalisasi dan reduksifikasi data penelitan dan memperoleh beberapa gagasan pokok relevansi aktus pewartaan melalui puisi-puisi dengan imaji biblikal.  
            Seruan Paus Paulus II dalam Surat Apostoliknya kepada seniman-seniwati bertitik fokus pada panggilan artistik yang secara personal ditujukan pada para pekerja seni. Dalam konteks penelitian ini, landasan teoritis ini akan muncul dalam tanggapan personal Mario F. Lawi sebagai seorang penyair Katolik dalam konteks pewartaan. Namun, berdasarkan penelitian lebih jauh yang melihat efek eksternal pewartaan puisi-puisi biblikal Mario F. Lawi terhadap publik sastra dari pelbagai latar belakang religius, maka konvergensi antara landasan teoritis dalam Ajaran Sosial Gereja dan penelitian lapangan, diperoleh efek pewartaan yang dikatagorikan oleh penulis sebagai bentuk resepsi pewartaan ad intra dan ad extra.
4. 1 Pewartaan ad Intra
4.1.1 Imaji Biblikal sebagai Jembatan Alternatif Menuju Pemaknaan Kitab Suci
            Mario memandang Kitab Suci sebagai sumber makna. Dalam kaitannya dengan terminologi semiotika Roland Barthes, Mario mengungkapkan bahwa Kitab Suci merupakan “petanda” (signified) dan penafsiran manusia terhadap sumber makna itu, entah tafsiran teologis ataupun tafsiran puitik adalah “penanda” (signifier). Dengan demikian, Mario sendiri memahami dan memaknai posisi mediator seorang penyair dalam hal mengarahkan dan menarik pembaca untuk sampai pada sumber makna yang utama. Dalam konteks puisi-puisi dengan imaji biblikal, maka peran penyair adalah menyediakan “kunci penanda” melalui metafora sebagai tafsiran atau pembacaan artistik yang mengarahkan pembacanya untuk tiba pada Kitab Suci sebagai acuan penanda utamanya.[48]
Melalui puisi-puisi yang memanfaatkan imaji biblikal, pembaca Kristiani dapat mendekatkan diri dengan narasi Kitab Suci yang dirujuk oleh imaji tersebut. Gema biblikal yang direkonstruksi dalam imaji biblikal dapat membawa pembaca Kristiani untuk meresapkan Sabda Allah dalam kesadaran personal pembaca. Dengan demikian, imaji biblikal dapat menjadi jembatan bagi pembaca untuk bergerak kembali kepada Kitab Suci dan menyelami maknanya dalam penghayatan hidup personal.
Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan makna terdalam dari Kitab Suci sebagai sumber inspirasi artistik yang mengalirkan aliran-aliran inspirasi dan menyulut imajinasi para seniman-seniwati demikian:
Begitulah Kitab Suci menjadi semacam “kamus amat besar” (Paul Claudel) dan “atlas ikonografik” (Marc Chagall); daripadanya digali kebudayaan dan kesenian kristiani… Naskah kitabiah telah menyulut imajinasi para pelukis, para penyair, para pakar musik, para pengarang skenario dan para pencipta film. Tokoh seperti Ayub, sekedar satu contoh, beserta pertanyaan-pertanyaannya yang cukup hangat dan selalu relevan tentang penderitaan, masih membangkitkan minat-perhatian, yang bukan melulu falsafi tetapi sastrawi dan artistik juga… Sabda kitabiah telah menjadi gambaran, musik dan puisi, yang mengundang misteri “Sabda yang telah menjadi daging” dalam bahasa kesenian.[49]

Banyak informan yang mengafirmasi bahwa mereka biasa membandingkan puisi-puisi biblikal Mario dengan teks Kitab Suci yang diacu oleh imaji-imaji biblikalnya. “Tole et lege[50] dapat hadir sebagai seruan persuasif dalam puisi-puisi biblikal. Suara untuk menarik orang mengambil dan membaca Kitab Suci serta menemukan makna utamanya dapat hadir melalui puisi-puisi biblikal. Yasintus Runesi mengatakan bahwa puisi, sebagaimana juga karya sastra pada umumnya, dapat memberikan suara untuk memanggil orang membaca Kitab Suci tanpa memaksa. Gerakan ini timbul dari kesadaran responsif pembaca karya sastra.[51]
Kekuatan Mario untuk mengkesplorasi secara puitik narasi Kitab Suci menjadikan pemaknaan personalnya sangat kuat dan berkesan bagi pembaca yang memiliki sensitivitas estetis yang mumpuni. Ita Siregar, seorang sastrawan dan penulis perempuan yang beberapa kali meresensi buku puisi Mario di media cetak nasional mengatakan bahwa puisi-puisi Mario sangat khas dan personal. Sebagai seorang yang memimpin Komunitas Gereja dan Sastra Kristen Jakarta, dengan kedekatan personalnya terhadap pembacaan Kitab Suci dan sastra, Ita Siregar sendiri mengakui kedalaman ‘penafsiran’ dan pemaknaan Mario terhadap narasi Kitab Suci. Menurutnya, puisi-puisi Mario dapat memberikan getaran personal yang mengharukan dan membawanya sampai pada penemuan makna yang mendalam terhadap kekayaan Kitab Suci.[52]
4.1.2 Imaji Biblikal sebagai Medium Kontemplatif Menuju Pemaknaan Personal Terhadap Relasi dengan Allah
            Pembaca Kristiani melalui jalan kontemplasi imaji dapat mengarahkan dirinya secara personal menuju Allah. Setiap orang dianugerahi sensitivitas estetis yang dapat menghantar dirinya kepada perjumpaan personal dengan Allah. Karena imaji biblikal merupakan bentuk penghayatan iman personal, maka efek pewartaan yang ditimbulkan juga bersifat personal. Puisi merangsang daya refleksi pembaca untuk mencerap nilai-nilai yang ditawarkan dalam karya tersebut. Dengan demikian, semakin peka daya sensitivitas estetis seorang pembaca yang didukung oleh kedekatan personalnya dengan Kitab Suci, maka semakin tinggi daya refleksi personalnya untuk menemukan Tuhan dalam keindahan puisi dengan imaji biblikal.
            Sebagai seorang penyair yang peka terhadap epifani keindahan yang hadir dalam pengalaman pembacaannya terhadap Kitab Suci maupun refleksi lainnya yang melatari puisi-puisi biblikalnya, Mario telah berupaya membuka jalan bagi pembaca reflektif untuk sampai pada pengalaman batin personal akan Allah. Dalam kaitan dengan Kitab Suci, Paus Yohanes Paulus II menyatakan dengan jelas bahwa kesenian sejati mampu memasuki kenyataan batin manusia. Ia menulis demikian:
Tiap bentuk kesenian yang sejati dengan caranya sendiri ialah jalan memasuki kenyataan batin manusia dan dunia. Oleh karena itu, hal tersebut merupakan pendekatan yang sepenuhnya berlaku bagi alam iman, yang memberi kepada pengalaman manusiawi maknanya yang mutakhir. Itulah sebabnya, mengapa Injil kepenuhan kebenaran wajib sejak awal mula membangunkan minat-perhatian seniman-seniwati, yang karena hakikat mereka waspada terhadap setiap “penampakan” (epifania) keindahan batin segala sesuatu.[53]
           
4.1.3 Imaji Biblikal sebagai Locus Perjumpaan antara Sabda Allah dan Pengalaman Personal         
Sebagaimana St. Yohanes dari Salib yang mempertemukan horizon Kitab Suci dengan pemahaman iman serta pengalaman hidup personalnya, puisi-puisi dengan imaji biblikal karya Mario F. Lawi juga lahir dari kemampuan Mario untuk mempertemukan Sabda Allah dengan khazanah epistemik serta pengalaman hidup personalnya. Puisi-puisi dengan imaji biblikal dapat dimaknai sebagai perjumpaan yang mengagumkan antara Sabda Allah dan pengalaman hidup personal. Dengan demikian, pembaca dapat diarahkan untuk merefleksikan Sabda Allah yang hidup dalam pengalaman konkret personal.
Dalam semangat Konsili Vatikan II, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa kesustraan dan kesenian memiliki relevansi yang besar dalam kehidupan manusia. Paus Yohanes Paulus II mengutip Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, art. 62 yang mengatakan: “Keduanya berusaha menyelami kodrat khas manusia, masalah persoalannya maupun pengalamannya dalam daya-upayanya mengenal serta menyempurnakan dirinya maupun dunia.”[54]
            Secara psikologis, manusia memiliki kemampuan dalam kesadaran yang disebut oleh Philip Lersch sebagai psychological present tense (Ing.) atau psychisches Praesenzeit (Jer.). Istilah ini menunjukkan dimensi waktu objektif dan waktu subjektif dalam kesadaran seseorang. Apa yang secara objektif telah menjadi masa lampau bisa saja bertahan dalam kesadaran seseorang sebagai masa kini yang penuh aktualitas. Dan sebaliknya, apa yang baru saja terjadi tetapi tidak masuk dalam persepsi segera kehilangan aktualitas dan relevansinya dan menjadi masa lampau.[55]
            Dalam peta pemikiran Lersch tersebut, maka imaji biblikal yang merekam pengalaman aktual personal Mario dapat bertahan dalam kesadaran pembaca ketika pembaca tersebut mendapat getaran personal yang akrab dengan pengalaman pribadinya. Linda Tagie sendiri pernah mengakui bahwa ia merasakan getaran personal, bahkan sampai terharu ketika Mario menulis puisi biblikal yang menyentuh aspek budaya Sabu. Misalnya, pada puisi “Gela”[56] yang mengangkat narasi tentang tradisi religius Jingitiu. Linda adalah seorang Kristen yang penah menganut ajaran Jingtiu sampai usia 10 tahun. Baginya, kisah dalam puisi yang dipertemukan Mario dengan khazanah biblikal sangat menyentuh pengalaman personalnya, khususnya dalam membangun relasi pribadi dengan Tuhan.[57]
4.1.4 Inspirasi Pewartaan Artistik  
Melalui puisi, penyair bukan saja menerjemahkan pengalamannya ke dalam bahasa, tetapi menjadikan bahasa sebagai medium untuk menerjemahkan perasaaannya menjadi suatu wujud artistik, yang kita kenal sebagai keindahan yang menjelma melalui media bahasa.[58] Dalam terang iman, penyair yang menimba inspirasinya dari Kitab Suci menerima inspirasi artistik dari Roh Kudus. Oleh karena itu, dengan membawa getaran inspirasi artistik melalui puisi, khususnya puisi biblikal, maka penyair dapat memberikan inspirasi pewartaan artistik yang sama kepada orang lain yang tersentuh dan menemukan makna yang menyapanya secara personal melalui puisi-puisi biblikal tersebut.[59]
Puisi-puisi berkualitas dengan imaji biblikal tentu merekam dalam dirinya proses kreatif dan ketekunan dalam membaca dan merenungkan Kitab Suci, kekayaan pembacaan terhadap literatur-literatur yang menambah wawasan iman dalam relasi dengan Kitab Suci serta ketajaman intuitif untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam pengalaman personal menjadi sarana pewartaan edukatif bagi pembaca yang juga tertarik untuk menulis karya sastra yang berbasis Kitab Suci. Dengan kata lain, Mario menjadi inspirasi dan teladan dalam berkarya.
            Ada beberapa penyair muda yang akhirnya juga mampu menulis puisi-puisi biblikal dengan cukup matang karena ketertarikan untuk merefleksikan Kitab Suci dari sisi puitik. Saddam HP[60] adalah seorang penyair yang telah menerbitkan puisi-puisi bernuansa religius dan biblikal dalam kumpulan puisi Komuni. Saddam HP juga mengakui bahwa proses kreatifnya dalam menulis karya sastra dipengaruhi pertama-tama oleh Mario F. Lawi, dan dalam perkembangan selanjutnya, juga dilengkapi oleh pembacaan-pembacaan terhadap penulis-penulis lainnya.
4.1.5. Sumber Daya Pewartaan dalam Keluarga
Dengan melihat kondusivitas lingkungan sekolah dan keluarga sebagai atmosfer positif yang mendukung proses kreatif Mario dalam menulis puisi-puisi dengan imaji biblikal, pembaca dapat terinspirasi dan termotivasi untuk membangun habitus membaca dan mendekatkan Kitab Suci dalam lingkungan keluarga dan sekolah. Sebagaimana ibu dari Mario yang memiliki kebiasaan untuk mengisahkan narasi-narasi Kitab Suci bagi anak-anaknya, demikian pun diharapkan banyak orang tua yang tertarik untuk memperkenalkan kisah-kisah dalam Kitab Suci bagi anak-anaknya. Di tengah kesibukan keluarga modern, kebiasaan baik ini dapat menjadi sarana perekat kedekatan antar anggota keluarga.[61] Selain itu, kisah-kisah yang diceritakan orang tua dengan pelbagai nasihat praktis yang mengikuti cerita tersebut, dapat terekam dalam memori anak-anak, apalagi kisah-kisah Kitab Suci yang diimani sebagai Sabda Allah yang hidup.
Dalam pengantar buku puisi terjemahan Inggris milik Mario berjudul Bui Ihi: The Cooling of the Harvest and Other Poems, yang diterjemahkan oleh John H. McGlynn, Linda Christanty menyatakan dengan jelas bahwa Mario sangat dipengaruhi dengan pengalaman personal dalam keluarganya. Dari ibunya, ia menyerap khazanah cerita biblikal dan dari kakeknya yang berasal dari tradisi budaya Sabu, ia menyerap khazanah lokalitas Sabu. Linda menulis demikian:
Having been raised in a staunch Catholic family and educated at a seminary, Mario is very familiar with all the stories and major figures of the Christian bible. Even so, and even with the numerous biblical references in his poems, he is not dogmatic and uses his knowledge of the bible as a means of expressing other, more personal, experiences and reflections on humanity an mankind… Through the character of his grandfather, Mario’s Savunese heritage comes alive in traditional harvest rituals and giving thanks to Banga Liwu, the God of Fertility. Traditional beliefs and contemporary religious practices find a balance in Mario’s poetic narratives.[62]

Pewarisan kekayaan cerita-cerita Kitab Suci yang diterima Mario dari ibunya menunjukkan bahwa pembiasaan membaca dan menyampaikan isi Kitab Suci telah berlangsung dalam lingkungan keluarga mereka, meski dengan cara yang sederhana. Mengakrabkan kisah Kitab Suci kepada anggota keluarga adalah salah satu bentuk pewartaan Injil dalam lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan amanat Paus Paulus VI dalam Surat Apostolik Evangelii Nuntiandi tentang pewartaan Injil dalam dunia modern. Paus Paulus VI mengatakan demikian:
Tidak dapat diabaikan penekanan pada kegiatan keluarga mewartakan Injil dengan kerasulan evangelisasi umat awam. Pada berbagai saat dalam sejarah Gereja, begitu pula dalam Konsili Vatikan II, keluarga memang selayaknya mendapat gelar indah “Gereja Keluarga”. Itu berarti, bahwa di tiap keluarga Kristiani harus terdapat pelbagai aspek seluruh Gereja. Lagi pula keluarga, seperti Gereja, harus menjadi tempat Injil disalurkan, dan memancarkan Injil.
Dalam keluarga yang menyadari misi itu, semua anggota mewartakan Injil dan mengalami penginjilan. Orang tua tidak hanya menyalurkan Injil kepada anak-anak mereka, melainkan dari anak-anak pun mereka dapat menerima Injil, sebagaimana mereka hayati secara mendalam.[63]

4.2 Pewartaan ad Extra
4.2.1 Imaji Biblikal sebagai Jalan Reflektif Terhadap Nilai-Nilai Kehidupan
Nilai-nilai Injili adalah juga nilai-nilai universal yang dapat hadir dalam semua agama dan aliran kepercayaan, meski dalam rumusan yang tidak mutlak sama. Imaji biblikal dapat menggaungkan nilai-nilai penghayatan hidup dalam relasi dengan Tuhan (teologis), sesama (sosiologis), alam (kosmologis) dan juga diri sendiri (psikologis) terhadap pembaca dari pelbagai latar belakang agama. Oleh karena imaji biblikal adalah bentuk penghayatan iman personal, maka secara personal, imaji biblikal pun dapat menyentuh sensitivitas estetis pembaca non-kristen untuk menghayati nilai-nilai universal dalam konteks iman personal.
Sapardi Djoko Damono, seorang sastrawan Indonesia kontemporer menyatakan dengan jelas kepiawaian Mario dalam menerjemahkan amanat Kitab Suci ke dalam bahasa puitik yang cair dan terbuka luas bagi banyak pembaca dari pelbagai latar belakang. Sapardi mengatakan: “Mario Lawi dengan terampil telah memindahkan inti amanat Kitab Suci ke puisi dan menawarkannya kepada pembaca sebagai penghayatan dan pengalaman baru yang tidak lagi perlu dibatasi oleh keyakinan apa pun.”[64]
Puisi-puisi Mario yang kaya akan metafora menjadikan refleksi terhadap imaji biblikal semakin diperkaya. Sebagaimana diakui Mario bahwa Kitab Suci telah menjadi sumber makna, yang daripadanya, mengalir kode-kode pemaknaan puitik personal Mario, sehingga ia mampu menarik pelbagai refleksi tentang nilai-nilai kehidupan yang bermakna. Secara sosiologis, Mario juga mengangkat khazanah lokalitas Sabu tentang relasi sosial-kultural masyarakat Sabu yang mampu menjadi bahan pemaknaan bagi pembaca puisi.
4.2.2 Imaji Biblikal Merupakan Rujukan untuk Penelitian Kitab Suci sebagai Karya Sastra
Kekuatan Mario untuk membangun puisi yang berkualitas dengan imaji biblikal sebagai piranti utama, membuka jalan bagi para pembaca dari pelbagai latar belakang agama lainnya untuk mendekati Kitab Suci sebagai karya bernilai yang bisa menjadi rujukan dalam memperkaya pemahaman dan juga penghayatan nilai-nilai hidup yang berguna.  Hal ini dibuktikan dengan ketertarikan seorang muslim dengan latar belakang pesantren yang mengkaji secara serius puisi-puisi Mario dalam penelitan ilmiahnya. Ia juga mengkaji hubungan antara puisi-puisi Mario dengan Alkitab. Dengan demikian, puisi-puisi dengan imaji biblikal dapat menjadi jembatan dialogis personal agar orang tidak lekas mengurung diri dalam kecurigaan dan ekslusivisme yang fanatik.
Menurut Royyan, Mario menggunakan imaji biblikal melalui dua cara, yakni: Pertama, dengan menjadikan narasi Alkitab sebagai isu utamanya, lalu melakukan pembacaan personal secara baru. Kedua, dengan menjadikan teks Alkitab sebagai alegori dari isu lain yang ingin diangkat oleh Mario sendiri. Misalnya: Mario menjadikan teks Perjanjian Baru untuk menjadi alegori yang linear untuk mengangkat isu lainnya.[65] Dengan demikian, pembacaan Mario terhadap Alkitab dalam konteks sastra cukup beragam dan kaya perspektif.
Dr. Marsel Robot, seorang akademisi sastra NTT menyatakan bahwa Mario punya keterampilan khusus dalam menciptakan puisi-puisi biblikal dari sisi sastra. Mario sanggup menciptakan “momok estetik” dalam puisi-puisinya, sehingga jika pembaca tidak memiliki penguasaan sarana sastrawi yang cukup, maka akan menemukan kesulitan-kesulitan tertentu dalam mendekati makna puisi Mario. Bahkan, Dr. Marsel Robot mengatakan bahwa Mario menggunakan diksi-diksi yang “menyapa dan menyabda”, sehingga memberikan penerangan-penerangan tertentu bagi refleksi terhadap Kitab Suci secara estetik.[66]
4.2.3 Imaji Biblikal sebagai Medan Perjumpaan dengan Yang Transenden     
Puisi-puisi dengan imaji biblikal yang mengacu pada forma keindahan (pulchrum) dapat merangsang sensitivitas estetis tiap orang untuk sampai pada perjumpaan personal dengan Yang Transenden sebagai Yang Maha Indah. Kekaguman akan kuasa Tuhan yang meresapi hidup personal manusia dapat memperkaya iman personal tiap-tiap pemeluk agama. Dengan kata lain, imaji biblikal dapat menjadi sarana bagi refleksi personal pembaca berhadapan dengan relasi dengan Tuhan dan sesama.
Abu Nabil Wibisana mengatakan bahwa setelah membaca puisi-puisi biblikal Mario, ia merasakan bahwa Tuhan itu dapat dirasakan secara akrab dan dekat.[67] Allah yang berjarak (Transenden) menampakkan sisi yang dekat dan akrab dengan kehidupan manusia (Imanen). Kekuatan Mario untuk mempertemukan khazanah biblikal dan pembacaan personal menjadikan kisah-kisah dalam Alkitab menjadi cair dan terasa dekat dengan pergumulan eksistensial hidup manusia.
Dengan demikian, imaji biblikal dapat dimaknai sebagai medan perjumpaan dengan Allah sebagai Realitas Transenden, yang melampaui segala kekuatan duniawi. Melalui refleksi yang mendalam, seorang penikmat puisi-puisi biblikal dapat memasuki ruang penanda imaji biblikal untuk menemukan makna personal sebuah perjumpaan pribadi dengan Realitas yang melampaui keterbatasan manusiawinya. Dalam gagasan estetika teologis Hans Urs von Balthasar, hal ini dapat ditempuh lewat jalan kontemplasi imaji. Imaji biblikal sebagai pemaknaan personal-estetik terhadap Kitab Suci memberikan jalan yang disebut Hopkins sebagai poetic epiphany (epifani puitik) yang mengantar manusia melalui refleksi dan kontemplasi menuju perjumpaan personal dangan Yang Ilahi.
4.2.4 Imaji Biblikal sebagai Inspirasi Reflektif bagi Relasi Karya Sastra dan Religiositas
            Keterampilan estetis Mario dalam membangun puisi-puisi biblikal dapat menjadi inspirasi bagi pembaca dari latar belakang agama lain untuk merefleksikan kembali hubungan erat antara karya sastra dan religiositas. Keberhasilan Mario dalam menciptakan puisi-puisi berkualitas dengan menggali khazanah Kitab Suci yang dekat dengan kehidupan personalnya dapat menjadi jalan inspiratif bagi para pembaca yang terlibat dalam dunia sastra, untuk merefleksikan kekayaan nilai-nilai estetis dalam Kitab Suci masing-masing agama melalui karya sastra yang menyentuh hidup personal pembaca.
            Titan Sadewo secara pribadi mengakui bahwa ia kagum terhadap cara Mario menafsirkan kembali dan memuisikan ayat-ayat Kitab Suci.[68] Ia tertarik membandingkan puisi-puisi biblikal Mario dengan teks rujukannya dalam Kitab Suci. Setelah membaca Kitab Suci, ia juga terkesan dengan kisah-kisah dalam Kitab Suci. Ia sendiri telah menulis beberapa puisi setelah membaca dan merefleksikan narasi Kitab Suci, misalnya: puisi “SEBELUM MENINGGALKAN 12 MURIDNYA” sebagai respon terhadap kisah Perjamuan Malam Terakhir dalam Injil Yoh. 13:1-20, dan puisi “SALIB AKU DI DADAMU” sebagai respon puitik terhadap kisah penyaliban Yesus Kristus, yang ia tafsir secara personal dari teks Injil Yoh. 19: 16b-27.
            Dengan konsistensi penggarapan tematik biblikal, Mario memberikan inspirasi artistik bagi para penyair untuk menyelami dimensi keindahan dari religiositas. Pencapaian artistik yang dibuktikan dengan hadirnya puisi-puisi berkualitas yang mengangkat narasi Alkitab dapat menjadi rujukan bagi para penyair lainnya untuk melihat relasi yang erat antara karya sastra dan religiositas.
4.2.5 Imaji Biblikal sebagai Resonansi Terhadap Ajaran Iman dari Tradisi Religius Lainnya
            Royyan Julian mengatakan bahwa imaji biblikal yang ditelitinya dalam puisi-puisi biblikal Mario memiliki getaran makna yang mirip dalam tradisi muslim, khususnya imaji biblikal yang diangkat dari narasi Perjanjian Lama. Royyan juga menemukan kekhasan Mario dalam mengangkat ‘imaji mistik’ yang mengangkat sisi imanensi Allah yang akrab dengan manusia. Hal ini ditemukan dalam penelitiannya terhadap puisi “Samuel” yang mengangkat narasi panggilan mistik Samuel yang direkonstuksi Mario dengan tactile imagery yang mesra, seperti diksi: “kecup” dan “Sayang”. Menurut Royyan, dalam tradisi muslim, gambaran imaji mistik ini juga sering diangkat oleh para sufi dalam tradisi sufisme atau tassawuf.[69]
            Alfian Dipahatang, seorang sastrawan Makassar mengakui bahwa ia terkesan dengan kisah-kisah dalam Alkitab setelah ia membaca puisi-puisi biblikal Mario F. Lawi yang pertama kali ia jumpai pada buku kumpulan puisi “Lelaki Bukan Malaikat”. Menurutnya, resonansi yang diangkat Mario dari khazanah Alkitab, khususnya tentang perjuangan iman dan perihal dosa memiliki korelasi dalam Alquran yang ia imani.[70]
            Abu Nabil Wibisana mengakui bahwa ada resonansi puitik yang diterima ketika membaca puisi-puisi biblikal Mario F. Lawi yang menghubungkannya dengan horizon pemaknaan religius personal yang hadir dalam tradisi religiusnya. Misalnya, ketika Mario menulis puisi tentang nabi Nuh, maka resonansi pemaknaan dapat diterima oleh seorang pembaca muslim yang juga akrab dengan tokoh Nuh sebagai nabi yang juga dikisahkan dalam Al-Quran. Namun, tentu saja, ada perspektif kisah yang khas ketika mengangkat narasi tokoh Nuh dalam Alkitab. Bagi Abu Nabil Wibisana, hal ini justru memperluas horizon pemaknaan personal dirinya untuk mencerap kekayaan makna yang ditawarkan oleh Alkitab melalui pembacaan puitik Mario dalam puisi-puisi biblikalnya.[71]
V. Tinjuan Kritis
5. 1 Tinjauan Umum
            Tinjauan umum yang dimaksudkan pada bagian ini adalah catatan kritis penulis terhadap penelitian tesis ini. Karena studi ini merupakan studi relevansi berupa pembacaan kritis yang menghubungkan beberapa kerangka teori dan data lapangan, maka beberapa catatan kritis berikut menjadi ihwal penting sebagai awasan terhadap pemaknaan pembaca agar tidak terjebak dalam kecenderungan-kecenderungan yang reduksionistik, baik dalam konteks sastra, iman maupun pewartaan.
            Pertama, penelitian ini membatasi penelaahan tematik pada puisi-puisi Mario yang memiliki acuan tekstualnya terhadap Kitab Suci. Oleh karena itu, beberapa puisi yang mungkin saja hadir dalam kumpulan puisi Ekaristi, tidak masuk dalam kriteria ini. Pembuktian ini pun menggunakan teori semiotika intertekstual Riffaterre yang mengkaji hubungan tekstual antara satu teks dengan teks acuannya (hipogram). Teori ini memiliki keterbatasan tertentu karena hanya mengkaji kedekatan relasi tekstual tanpa menelusuri lebih jauh kedudukan pemaknaan atau penafsiran teks acuan dalam puisi. Dalam kasus puisi-puisi biblikal Mario, terkadang kedudukan teks-teks Kitab Suci tidak selalu berimbang. Ada puisi yang ia konstruksi langsung dari perikop kisah Alkitab tertentu, namun ada puisi-puisi yang hanya menyajikan alusi-alusi ayat-ayat Kitab Suci atau pun rekonstruksi puitik ayat-ayat Kitab Suci demi tujuan narasi estetik lainnya.
            Kedua, imaji biblikal bukanlah tafsiran eksegetis terhadap teks Kitab Suci. Dengan kata lain, pemaknaan atau penafsiran personal Mario melalui imaji biblikal tidak menggantikan otoritas penafsiran Magisterium Gereja. Oleh karena itu, dalam konteks pemikiran estetika teologis Balthasar, imaji biblikal dapat dimaknai sebagai bentuk penghayatan iman personal. Namun, estetika teologis ini tidak serta-merta mengabaikan pendekatan lainnya terhadap Kitab Suci, misalnya: pendekatan biblis-teologis, moral Kristiani, dan lain-lain. Pendekatan ini menawarkan salah satu bentuk penghayatan iman dan bukan satu-satunya penghayatan yang lengkap dalam dirinya sendiri.
            Ketiga, dimensi pewartaan yang diangkat dalam penelitian ini lebih berorientasi pada resepsi atau penerimaan puisi-puisi biblikal, baik dalam kalangan Kristiani (ad intra), maupun kalangan non-kristiani (ad extra). Karena keterbatasan jangkauan informan ad extra, akhirnya hanya pembaca dari kalangan muslim yang dapat diteliti. Karena imaji biblikal merupakan bentuk penghayatan iman personal, maka efek pewartaannya pun bersifat personal. Dengan kata lain, meski imaji biblikal sebagai salah satu piranti sastrawi yang bersifat cair dan terbuka, namun serentak pula menjadi tertutup karena tidak semua pembaca menerima atau memahami puisi-puisi dengan imaji biblikal. Dengan demikian, pewartaan puisi-puisi imaji biblikal terbatas pada penikmat sastra yang terbuka pada narasi Alkitab dan memiliki sensitivitas estetik untuk memaknainya lebih jauh.
5.2 Tinjauan Khusus
            Tinjauan khusus yang dimaksudkan pada bagian ini adalah beberapa catatan kritis dari penulis terhadap puisi-puisi biblikal Mario F. Lawi. Catatan kritis ini berdasarkan pada pemaknaan kritis-personal penulis sendiri dan masukan yang diperoleh dari beberapa informan yang bersedia memberikan beberapa catatan kritis untuk puisi-puisi biblikal Mario F. Lawi. Eksistensi pembacaan kritis sangat penting bagi perkembangan proses kreatif seorang sastrawan. Adapun beberapa catatan kritis tersebut adalah sebagai berikut:
            Pertama, banyak informan yang melihat konsistensi tematik biblikal Mario sebagai kekuatan sekaligus kelemahan. Kecenderungan untuk hanya mengeksplorasi satu tema tertentu, dapat saja menjebak Mario dalam stagnansi berkarya dan minim kesegaran eksplorasi puitik yang dapat diusahakan. Beberapa di antara mereka, bahkan menginginkan Mario dapat menulis dari “luar Kitab Suci”. Namun, Mario sendiri menyikapi pendapat ini dengan kritis. Menurutnya, pembaca karya sastra Indonesia sedang terjebak kehausan akan kebaruan. Segala sesatu diukur dari kesegaran. Padahal, jika merujuk pada tradisi sastra negara-negara besar, misalnya Eropa, maka akan ditemukan bahwa konsistensi penggarapan tematiknya sangat kuat. Selain itu, dari sisi pewartaan, konsistensi terhadap tema-tema biblikal merupakan risiko pewartaan yang ditempuh Mario. Bagi Mario, inspirasi dari Kitab Suci tidak akan pernah habis dieksplorasi.
            Kedua, Mario sendiri menyadari bahwa puisi-puisinya minim ditelaah oleh akademisi yang ahli di bidang Kitab Suci. Hal ini penting, karena publik sudah telanjur menyematkan predikat “imaji biblikal” dalam puisi-puisi Mario. Bagi pembaca yang kurang tekun, predikat ini akan menjadi tameng untuk melabeli karya-karya Mario tanpa ada kesediaan untuk merujuk pada acuan utamanya. Artinya, masih tergolong minim adanya pembacaan kritis dari sisi biblikal itu sendiri, untuk melihat sejauh mana kadar “biblikal” hadir dalam imaji puitik Mario. Dari ruang ini pula, Mario mendapat kesempatan untuk menerima referensi penting pemaknaan dari sisi eksegese Alkitab, sehingga ia tidak hanya mengandalkan pembacaan personalnya semata.
            Ketiga, kecenderungan pada puisi-puisi “elitis”. Banyak responden mengaku kecenderungan Mario untuk menyebut tokoh dan peristiwa yang khas biblikal ditambah dengan kecenderungan refleksi puitik yang abstrak dengan kompleksitas pemaknaan menjadikan puisi-puisi Mario sulit didekati, apalagi oleh pembaca yang sangat awam terhadap narasi biblikal. Risikonya adalah puisi-puisi Mario gagal menyentuh semua lapisan pembaca puisi. Namun, di sisi lain, puisi-puisi dengan kompleksitas pemaknaan menyerukan dalam dirinya seruan literasi yang kuat. Jika pembaca ingin sampai pada pemaknaan yang mendalam atas puisi-puisi biblikal Mario, maka ia harus berjuang membuka kode-kode penanda di dalamnya, entah membuka dan membaca Kitab Suci, ataupun literatur-literatur lain untuk memahami diksi dan posisi pemaknaan Mario dalam puisi-puisinya. Jebakan “penyair elitis” tidak akan terjadi, jika pembaca puisinya berjuang untuk membuka kunci-kunci penanda dalam puisi-puisi biblikalnya.
Keempat, Ignas Kleden pernah memberikan awasan kritis terhadap kecenderungan godaan subjektivisme dalam berkarya. Dalam batas-batas tertentu, pembacaan personal terhadap Kitab Suci, jika tidak dijaga dengan bantuan literatur-literatur eksegetis, maka bisa saja jatuh dalam jebakan “subjektivisme pemaknaan”. Jika makna imaji biblikal itu bersifat personal dan tetap menggaungkan narasi keselamatan yang utama dari Alkitab, maka ia berfungsi memperkaya khazanah pemaknaan pembaca. Namun, jika ia jatuh dalam jebakan “subjektivisme pemaknaan”, yang sama sekali bertolak belakang dengan narasi keselamatan dalam Alkitab, maka tentu saja imaji tersebut mengalami contradictio in terminis, karena ia mengkhianati narasi biblikal yang dimaknainya sendiri.
Selain itu, puisi-puisi yang mempertemukan imaji biblikal dan masalah aktual kemanusiaan dapat saja memiliki jarak pemaknaan, jika ayat-ayat Kitab Suci dijadikan sebagai sebuah bentuk eskapisme (pelarian) rohani dan mengabaikan kompleksitas pergulatan manusiawi. Namun, sejauh ini puisi-puisi Mario belum terjebak dalam dua ekstremitas ini, yakni: “subjektivisme pemaknaan” dan “eskapisme religius”. Konsistensi Mario untuk meneliti dengan kajian literatur yang kaya dan kualitas refleksi kritis yang memadai menjadi kekuatan Mario untuk tidak terperangkap dalam dua jebakan ini. Namun, awasan kritis ini perlu ditampilkan demi meningkatkan kesadaran dan kehati-hatian dalam memperjuangkan karya-karya dengan imaji biblikal yang berkualitas. 



[1]Origenes, De Principiis, in Die griechischen christlichen Schrifsteller der ersten drei Jahrhunderte Origenes Werke, Vol. 5, 4.2.4.
[2]Ungkapan ini secara literal berarti “petualangan menuju Allah”. Pendapat Origenes ini bertumpu pada iman akan Kitab Suci sebagai Sabda Allah yang hidup, sehingga dengan mengkontemplasikan Sabda Allah dalam Kitab Suci, manusia mengangkat jiwanya kepada Allah. Perjalanan jiwa menuju Allah ini disebut dengan perjalanan mistik. Untuk alasan ini, Origenes sering disebut sebagai bapa mistisisme Kristiani (the Father of Christian mysticism). Bernard McGinn, “The Biblical Mysticism of John of the Cross”, dalam Medieval Mystical Theology, 2018, Vol. 27:2, hlm.103.
[3]Ibid.
[4]Yasintus T. Runesi, “Kupu-Kupu di atas Bunga-Angin Menari melalui Padang: Menyimak Filsafat Seni Martin Heidegger”, dalam Lumen Veritatis: Jurnal Teologi dan Filsafat, Vol. 10, No. 1, Mei-Oktober 2019, hlm. 45-46.
[5]Y. B. Mangun Wijaya, Sastra dan Religiusitas, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 11.
[6]Bahasan tentang teolog Hans Urs von Balthasar dan karyanya The Glory of The Lord; A Theological Aesthetics akan dipaparkan dalam Bab II.
[7]Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), hlm. 3.  
[8]Dr. Rina Ratih, M. Hum., Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 5.
[9]Hans Urs von Balthasar adalah seorang imam dan teolog Swiss yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1905 di Lucerne Swiss. Karya-karya antara lain: “The Theology of Karl Barth: Exposition and Interpretation”, “The Glory of The Lord; A Theological Astheics” (7 Vol), “Theo-Drama: Theological Dramatic Theory” (5 Vol), dan “Theo-Logic” (3 Vol).
[10]Hans Urs von Balthasar, The Glory of The Lord; A Theological Aesthetics, Vol. III “Studies in Theological Style: Lay Styles”, trans.by Andres Louth, et.all, (San Fransisco: Ignatius Press, 1986), hlm. Pengutipan selanjutnya akan disingkat AT., III, dan diikuti halaman yang dirujuk.  
[11]AT., III, hlm. 67.   
[12]Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art. 1.
[13]Ibid., hlm. 23-34.
[14]Ibid., hlm. 10.
[15]H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi; Suatu Telaah Filsafat Postmodern, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 21.
[16]W. L. Resse, Dictionary of Philosophy and Religion-Eastern and Western Thought, (New Jersey: Humanities Press, 1980), hlm. 246. 
[17]H. Tedjoworo, Op. Cit., hlm. 93.
[18]Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan Budaya, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm. 445.
[19]H. Tedjoworo, Op.Cit., hlm. 24.
[20]Giovanni A. L Arum, “Lima Fungsi Imaji Biblikal dalam Komuni Karya Saddam HP”, diterbitkan pada laman BACAPETRA.CO, Sabtu, 14 September 2019; diakses melalui https://www.bacapetra.co/lima-fungsi-imaji-biblikal-dalam-komuni-karya-saddam-hp/ pada hari Jumat, 20 September, pkl. 18.35 WITA.
[21]Mario F. Lawi, Ekaristi, Op.Cit., hlm. 68
[22]Royyan Julian, Op. Cit., hlm. 87.
[23]Abu Nabil Wibisana, Wawancara, (Selasa, 14 Januari 2020).
[24]Ibid., hlm. 88.
[25]Royyan Julian, Op.Cit., hlm. 93.
[26]Ibid., hlm. 77.
[27]Paus Yohanes Paulus II (promulgator), Catechismus Chatolicae Ecclesiae, diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru, SVD dalam Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Provinsi Gerejani Ende, 1995), No. 1324. 
[28]St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, Q. 76, a.1. Resp. translated by the Fahters of the English Dominican Province, New York: Benziger Brothers, 1948. Cf. Paul J. Glenn, A Tour of the Summa of St. Thomas Aquinas, (USA: Tan Books and Publishers Inc., 1978), hlm. 380. 
[29]Yasintus Runesi, “Vertikalitas dan Epifani: Tubuh dalam Pelajaran dari Orang Samaria” (prolog) dalam Giovanni A. L Arum, Pelajaran dari Orang Samaria, (Kupang: Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora, 2019), hlm. 18-19. 
[30]Ibid., hlm. 105.
[31]Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art.15.
[32]Ibid.
[33]Ibid.
[34]Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).
[35]Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art.3.
[36]Majalah Tempo, “Mengharap Hujan, Menikam Lambung Tu(h)an”, edisi 5 Januari 2015. Sebagaimana diakses dari laman https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/147203/mengharap-hujan-menikam-lambung-tuhan# Senin, 3 Februari 2020, pkl. 18:50 WITA.
[37]Stefanus P. Elu, “Mario F. Lawi: Meleburkan Iman dalam Puisi”, HIDUPKATOLIK.com edisi 25 Maret 2015. Sebagaiamana diakses dari laman https://media.iyaa.com/article/2015/03/3393657_8553.html pada hari Rabu, 5 Februari 2020, pukul 17:40 WITA.
[38]Carroll Stuhlmueller C.P, “The Rhytmic Touch of Poetry” dalam The Bible Today, Vol. 24, No. 4, July 1986, hlm. 212.
[39]Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).
[40]Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).            
[41]Mario F. Lawi, Keledai yang Mulia dan Puisi-Puisi Lainnya”, (Yogyakarta: Shira Media, 2019), hlm. 4.  
[42]Mario F. Lawi, Ekaristi, Op.Cit., hlm. 77.  
[43]Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).
[44]Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).
[45]Royyan Julian, “Alkitab di Mata Penyair”, Pustaka Puitika edisi Januari 2016. Sebagaimana diakses dari laman https://pustakapuitika-online.blogspot.com/2016/01/alkitab-di-mata-penyair.html pada hari Rabu, 5 Februari 2020, pkl. 17:48 WITA.
[46]Ibid.
[47]Maman S. Mahayana, Op.Cit., hlm. 130.
[48]Mario F. Lawi, Wawancara, (Jumat, 17 Januari 2020).  
[49]Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit. art. 5.
[50]Tolle et Lege adalah seruan Tuhan kepada St. Agustinus melalui suara seorang anak kecil yang berarti “ambilah dan bacalah!” Pengalaman iman ini disampaikan oleh St. Agustinus dalam karyanya yang termahsyur Confessiones. St. Agustinus, Confessiones, trans.by Henry Chadwick, (USA: Oxford Univesity Press, 1992), hlm. 152. 
[51]Yasintus Runesi, Wawancara, (Senin, 25 November 2019).
[52]Ita Siregar, Jawaban Kuesioner Ad Intra, Pertanyaan A, No. 3, 7, 9. Sebagaimana dikirim pada hari Kamis, 16 Januari 2020.
[53]Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art. 6.
[54]Paus Yohanes Paulus II, Op.Cit., art. 11. Cf. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” Tentang Gereja di Dunia Masa Ini, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, (Jakarta: Obor, 1993), art. 62. Pengutipan selanjutnya akan disingkat GS., dan diikuti nomor artikelnya.
[55]Pendapat Philip Lersch ini dikutip oleh Ignas Kleden ketika membahas gagasan tentng “Sastra, Ilmu dan Imajinasi”. Ignas Kleden, Op.Cit., hlm. 29. Cf. Philip Lersch, Aufbau der Person, (Muenchen: Johann Ambrosius Barth, 1954), hlm. 30.
[56]Mario F. Lawi, Ekaristi, Op.Cit., hlm. 40-41.
[57]Linda Tagie, Wawancara, (Senin, 13 Januari 2020).
[58]Ignas Kleden, Op.Cit., hlm. 284.
[59]Yohanes Paulus II, Op.Cit., hlm. 27.
[60]Saddam HP adalah nama pena dari Diakon Alfredo Saddam Hussein Pareto. Ia lahir di Kupang, 21 Mei 1991. Karya yang telah diterbitkannya adalah buku kumpulan puisi Komuni (2019) dan bersama Mario F. Lawi menerjemahkan beberapa puisi Latin Klasik dari penyair Romawi Vergilius dalam Vergilius; Ecloga I (2019)
[61]RD. Andreas Kabelen, Wawancara, (Sabtu, 1 Februari 2020).
[62]Linda Christanty, “Introducing Mario F. Lawi” dalam Mario F. Lawi, Bui Ihi: The Cooling of the Harvest and Other Poems, trans.by John H. McGlynn, (Jakarta: The Lontar Foundation, 2019), hlm. xii-xiii.
[63]Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, (8 Desember 1975), dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999), art. 71. Pengutipan selanjutnya akan disingkat EN., dan diikuti nomor artikelnya. 
[64]Pendapat ini dikutip dari sampul belakang buku puisi Mario F. Lawi, Lelaki Bukan Malaikat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015).
[65]Royyan Julian, Wawancara, (Minggu, 17 November 2019).
[66]Dr. Marsel Robot, Wawancara, (Rabu, 15 Januari 2020).
[67]Abu Nabil Wibisana, Wawancara, (Selasa, 14 Januari 2020).
[68]Titan Sadewo, Jawaban Kuesioner Ad Extra, Pertanyaan A, No. 7. Sebagaimana dikirimkan pada hari Rabu, 15 Januari 2020.
[69]Royyan Julian, Wawancara, (Minggu, 17 November 2019)
[70]Alfian Dipahatang, Jawaban Kuesioner Ad Extra, Pertanyaan bagian A, No. 8. Sebagaimana dikirimkan pada hari Kamis, 16 Januari 2020.
[71]Abu Nabil Wibisana, Wawancara, (Selasa, 14 Januari 2020).

Comments

Popular posts from this blog

Spiritualitas Yohanes Pembaptis

Berjaga-jagalah Sambil Berdoa!