Spiritualitas Anak Bungsu
Renungan Harian
Selasa, 15 Desember 2020
Fr. Giovanni A. L Arum
Ø Bacaan Injil yang kita renungkan ini adalah bacaan
khas Injil Matius. Sasarannya adalah jemaat Kristen yang berlatar Yahudi. Dua
anak dalam perumpamaan ini secara jelas menggambarkan bahwa “anak pertama”
(identik dengan orang Yahudi) belum tentu taat dan diselamatkan. Sedangkan
“anak kedua” yang sering dianggap sebagai pendosa (jemaat Kristen dan orang-orang berdosa yang bertobat) justru merekalah yang
mewarisi Kerajaan Sorga.
Ø Kita belajar dari 3 tokoh dalam Kitab Suci. Tokoh
Pertama adalah “Sang Ayah”. Jelas tokoh ini menjadi gambaran Allah yang
mencintai semua anaknya tanpa diskriminasi. Buktinya perintah Sang Ayah untuk
SI Sulung dan Si Bungsu sama persis. Kalau kita menyadari konsep keluarga
Yahudi, kita akan sadar bahwa Sang Ayah tidak pernah memaksa kedua anaknya
bekerja sebagai budak. Mereka bekerja sebagai anak di kebun anggur Sang Bapa.
Artinya, mereka bekerja untuk masa depan mereka sendiri, karena status anak
punya hak untuk mendapat warisan. Dan warisan itu adalah keselamatan kekal.
Ø Ada hal yang aneh. Dalam terjemahan Vulgata (Latin)
dan Septuaginta, susunan ceritanya terbalik dari susunan cerita dalam
terjemahan Indonesia yang kita pakai. Kelihatannya ada maksud tertentu. Mungkin
versi ini ingin menekankan bahwa “yang terakhir” akan menjadi “yang terdahulu”
untuk masuk dalam Kerajaan Surga. Selain itu, biasanya gambaran anak sulung
biasanya dipakai untuk bangsa Israel (Bangsa Terpilih), khususnya para imam dan
Ahli Taurat yang menolak pewartaan Yohanes Pembaptis, dan terutama pewartaan
Yesus sendiri. Tapi, kalau kita mengikuti logika terjemahan dari Bahasa Aslinya
kita akan sadar bahwa Matius menekan posisi orang yang berdosa dan mau bertobat
pada tempat yang pertama, mendahului orang-orang yang menganggap diri suci tapi suci dalam debu
kepalsuan. Inilah gambaran Matius, sang pemungut cukai (orang berdosa) yang
bertobat dan mengikuti Yesus.
Ø Tokoh Si Sulung menjawab “ya, siap” di depan Sang Bapa
tetapi tidak melakukan tugasnya. Imannya adalah “iman mulut”; iman tanpa
perbuatan yang mati. Dari bahasa aslinya, kita akan tahu bahwa Si Sulung tidak
pernah menganggap Sang Bapa sebagai “ayah”. Ungkapan “Ya Bapa” dari Si Sulung
sebenarnya diterjemahkan dari ungkapan “ego Kurie”; “Saya siap ya Tuan”.
Berarti, ia menganggap diri sebagai budak. Ia mengambil jarak dengan Sang Bapa.
Ø Tokoh Si Bungsu menjawab “tidak” dengan jujur di
hadapan Sang Bapa, tetapi kemudian dia menyesal dan pergi juga ke kebun anggur
untuk bekerja. Ia tidak bersikap munafik kepada Sang Bapa. Kata yang penting
kita maknai di sini adalah “menyesal”. Menyesal (metamelomai) bukan hanya sekadar perasaan bersalah. Kata itu
berarti juga bertobat secara sungguh (metanoia).
Tobat Si Bungsu tidak hanya berhenti di lever perasaan. Ia menyesal dan pergi
bekerja di kebun anggur. Imannya adalah iman yang berbuah dalam tindakan.
Ø Dari kedua figur anak ini, kita memeriksa diri kita
sendiri. Apakah selama ini saya merasa diri paling benar di hadapan Tuhan,
tetapi sikap saya jauh dari apa yang saya imani dan nasehati? Ataukah saya mau
mengakui diri saya sebagai seorang yang bersalah di hadapan Tuhan dan mau
berbenah diri dan bertobat kembali kepada Allah? Ingat orang-orang Farisi dan Ahli Taurat adalah para pemuka agama
yang menguasai dengan baik hukum Tuhan, dihormati dan dihargai semua orang.
Tapi, merekalah yang dikecam Yesus sebagai kaum hipokrit (munafik). Jangan sampai, tangan kita lebih gampang
menunjuk kesalahan orang daripada menepuk dada sendiri dan mengakui kesalahan.
Ø Sakramen Tobat menyelamatkan kita dari sikap banalitas
kejahatan. Kita cenderung punya banyak cara untuk membela diri dan tidak
mengakui kesalahan. Orang yang berani mengakui kesalahannya adalah orang yang
mampu mengalahkan dirinya sendiri. Di hadapan imam Tuhan kita menjatuhkan diri
kita sebagai Si Bungsu yang meski jatuh dalam dosa dan mungkin sering distigma
sebagai pendosa, tetapi mau menyesal dan kembali kepada Tuhan. Sebab, sekalipun
dunia menolak kita, Allah tidak pernah menolak orang yang remuk redam hatinya. “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam
Kerajaan Allah.” “Seperti tubuh yang terluka membutuhkan obat untuk sembuh,
demikianpun jiwa yang terluka membutuhkan Sakramen Tobat sebagai obat untuk
memulihkan luka jiwa kita.” Semoga. Amin.
Comments
Post a Comment