Berhala VS Ber-Allah
Sabtu,
7 November 2020
Renungan
Atas Perikop Injil Lukas 16: 9-15
“Nemo servus potest duobus dominis servire:
aut enim unum odiet, et alterum diligent: aut uni adhaerebit, et alterum
contemnet: non potestis Deo servire, et mammonae; seorang hamba tidak dapat
mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang
dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak
mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada
Mamon.” (Luk. 16:13)
Siapa dapat menyangkal bahwa dalam
hidup ini kita membutuhkan uang? Hampir seluruh kebutuhan hidup di dunia ini
diperoleh melalui jasa alat tukar yang mendunia ini. Uang berguna untuk
memenuhi kebutuhan manusia demi menyejahterakan hidupnya. Namun, apa sebenarnya
fungsi uang bagi manusia dalam hubungannya dengan iman? Bagaimana orang beriman
memposisikan uang dan harta miliknya dalam menghayati imannya di dunia ini?
Perikop Injil yang akan kita
renungkan hari ini memberikan tuntunan yang jelas perihal sikap kritis orang
beriman dalam menggunakan uang dan harta kekayaannya. Yesus membuka perikop
Injil hari ini dengan kalimat tegas dan penuh kuasa: “Aku berkata kepadamu…”
(Yun. egō hümin legō). Dalam Injil,
ungkapan ini menunjukkan dimensi kekuasaan Yesus sebagai Allah Putera yang
bersabda. Jika dalam Perjanjian Lama, para nabi menjadi perantara yang menyampaikan
Sabda Allah (“Allah berfirman…”), maka Yesus melampaui figur para nabi dengan
menyampaikan Sabda dari mulut-Nya
sendiri.
Selain
menunjukkan otoritas Ilahi Yesus, ungkapan ini juga menunjukkan pentingnya
bunyi sabda yang akan mengikutinya. Dalam konteks perikop Injil hari ini, bunyi
sabdanya adalah perintah untuk “mengikat persahabatan dengan Mamon yang tidak
jujur, supaya jika ia tidak lagi sanggup menolong, orang dapat diterima dalam
kemah abadi.” (Bdk. Ay. 9).
“Mamon”
adalah ungkapan Aramea yang sering disebut dalam tulisan-tulisan kuno Yahudi.
Kata ini dalam Perjanjian Baru diartikan sebagai uang, harta kekayaan, dan hal
lain yang serupa. Dalam kenyataan, “Mamon” sangat menggoda manusia. Bahkan ia
mampu memperbudak kesadaran umat manusia. Tidak pernah ada orang rakus yang
merasa cukup di hadapan uang dan kekayaan.
Maksud
dari ungkapan sabda Yesus bukan berarti setiap manusia harus mengikatkan
dirinya dengan “Mamon” yang memperbudak, tapi secara cerdik menggunakannya
dengan baik agar mampu diterima dalam kemah abadi di surga. Kita bisa membaca
dengan jelas bahwa tujuan dari “ikatan persahabatan dengan Mamon” adalah
bersifat sementara. Ia hanyalah sarana untuk mencapai tujuan utama, yakni:
berdiam dalam kemah Allah di surga.
Yesus
menambahkan tentang pentingnya kesetian dan tanggung jawab dalam perkara-perkara
yang kecil. Karena kesetiaan dalam perkara yang kecil akan menjadi ukuran bagi
kesetiaan dan tanggung jawab seseorang dalam perkara-perkara yang lebih besar.
Ada ungkapan Latin yang berbunyi: “cura
minimorum; rawatlah hal-hal yang kecil”. Dalam konteks uang dan kekayaan
duniawi, nasihat ini penting bagi kita untuk bertanggung jawab mengelola
kekayaan yang Tuhan anugerahkan kepada kita demi Kerajaan Allah.
Mengenai
daya tarik uang dan kekayaan, Yesus dengan tegas memberikan nasehat bahwa
manusia dapat menjadikan “Mamon” sebagai “berhala”, yakni suatu tindakan dosa
yang menjadikan uang dan kekayaan sebagai “tuhan atau dewa”. Yesus bersabda:
“Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Ay. 13). Dengan
demikian, jelas bahwa ada manusia yang jatuh dalam dosa berhala. Naluri gelap
ketamakan dan egoisme telah menjadikan manusia diperhamba oleh uang dan
kekayaan.
Sabda
Yesus ini “dicemooh” (Yun. ekmuktērizό) orang Farisi. Mereka mencemooh Yesus karena
sikap-Nya yang tegas dan kritis terhadap bahaya laten kuasa uang dan kekayaan
yang memperhamba kesadaran manusia. Mereka mencemooh Yesus karena mereka
sendiri adalah “hamba-hamba uang” (Yun. philargüroi). Kata “philargüroi” berarti “pecinta dan pemuja uang”. Sungguh
kenyataan yang ironis, figur yang dianggap sebagai pemuka agama yang harusnya
“dekat dengan Tuhan” malah menjadi “hamba uang”. Yesus jelas tidak ingin para
murid-Nya jatuh dalam dosa berhala jenis ini.
Oleh
karena itu, Yesus membongkar kemunafikan mereka (Yesus sering menyebut mereka
sebagai kaum hipokrit yang hidup palsu dan munafik) dengan menyampaikan sabda
yang keras dan menantang: “Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah
mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah.” (Ay.
15). Mereka mungkin bisa munafik di hadapan manusia, namun pandangan mata Allah
menembusi ruang tersembunyi dalam hati mereka yang busuk itu.
Pelajaran
berharga yang dapat kita petik dari Sabda Tuhan hari ini adalah sebagai
berikut: Pertama, kita memang membutuhkan uang dan harta milik untuk menunjang
kehidupan kita di dunia. Tapi, uang dan harta adalah “sarana” bukan “tujuan”
hidup kita. Tujuan hidup kita tetap pada kebahagiaan abadi bersama Allah. Inilah
harta yang kita kejar di dunia. Dalam ungkapan Paulus, inilah mahkota abadi
yang kita perjuangkan dalam gelanggan pertandingan hidup kita di dunia.
Kedua,
kita perlu berbagi kepada orang lain, terutama mereka yang membutuhkan.
Mengapa? Karena dengan berbagi, hati kita tidak dikuasai naluri untuk
memperkaya diri. Kita menjadi “tuan” atas harta kita. Banyak orang jatuh dalam
kuasa berhala kekayaan karena tangan mereka enggan terbuka untuk berbagi.
Ketiga,
kita perlu setia dalam hal-hal yang kecil dan sederhana. Kejujuran, khususnya
dalam pengelolaan keuangan dan harta milik menjadi keutamaan Kristiani. Kita
dipercayai karena kesetiaan dan kejujuran kita.
Keempat,
kita tidak boleh menjadi kaum hipokrit (munafik) seperti kaum Farisi, yang
kelihatannya berwibawa dan saleh di hadapan orang, tetapi hati kita penuh
dengan ketamakan dan egoisme. Banyak koruptor yang nampaknya dermawan kepada
orang lain. Artinya, kita perlu sadar bahwa sepandai apapun kita menutup
kesalahan kita, pandangan mata Tuhan menembus sampai pada ruang-ruang tergelap
dalam diri kita.
Mari
terus berbenah dalam hidup kita. Tuhan memberkati kita sekalian. Salve!
Comments
Post a Comment